SubmitYahoo Modul Penyakit Anemia ~ Febri Irawanto - ilmu kita

Google Plus

Sabtu, 20 November 2010

Modul Penyakit Anemia

ANEMIA

I. PENDAHULUAN
1. Batasan anemia.
Anemia adalah berkurangnya jumlah sel-sel darah merah. Karena anemia dihubungkan dengan penurunan kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah, kondisi ini biasanya dinyatakan dalam hubungannya dengan konsentrasi hemoglobin. Umumnya, anemia ditemukan pada pemeriksaan laboratorium saat kadar hemoglobin atau hematokrit seorang penderita berkurang di bawah nilai yang diharapkan (dari nilai kisaran yang normal).
2. Manifestasi anemia.
Kecuali pada kasus-kasus yang nyata, anemia jarang terdiagnosis dari penampakannya sendiri. Manifestasi klinis yang timbul secara primer berhubungan dengan upaya kompensasi tubuh yang dirangsang oleh keadaan hipoksia. Anemia lebih sering ditemukan pada pemeriksaan darah rutin bagi pasien-pasien yang mengeluhkan perasaan mudah lelah ataupun nafas yang pendek. Hanya kadang-kadang ditemukan penderita dengan anemia lanjut yang disertai dengan tanda-tanda dan gejala-gejala anemia. Walaupun demikian, anemia dengan derajat yang ringan dapat terjadi tanpa keluhan atau gejala apa pun. Jenis anemia harus ditentukan dengan segera untuk mempersempit upaya pencarian keadaan yang mungkin menjadi penyebabnya.

II. KONSEP FISIOLOGIS ANEMIA
2.1 Fungsi dan morfologi eritrosit
1. Fungsi utama eritrosit. Fungsi utama dari sel-eritrosit, yang juga dikenal sebagai eritrosit, adalah mengangkut hemoglobin (Hb), yang kemudian mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan. Pada beberapa hewan tingkat rendah, Hb beredar sebagai protein bebas dalam plasma, tidak terbatas dalam eritrosit. Bila pada manusia hal ini terjadi, setiap kali darah bersirkulasi sekitar 3 % bocor ke jaringan atau melalui membran glomerulus ginjal. Karena itu, agar tetap berada dalam aliran darah, Hb harus berada dalam eritrosit.
2. Fungsi lain eritrosit. Selain mengangkut Hb, eritrosit juga mempunyai fungsi lain. Contohnya, ia mengandung banyak sekali enzim karbonik anhidrase, yang mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air, sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak balik ini beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida, dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-). Hb yang terdapat dalam sel juga merupakan penyangga asam-basa (seperti juga pada kebanyakan protein), sehingga eritrosit bertanggung jawab untuk sebagian besar daya pendaparan seluruh darah.
3. Besar, ukuran, dan bentuk eritrosit. Eritrosit normal berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter + 7,8 um dan dengan ketebalan 1 um di tengah hingga 2,5 um di pinggir. Volume rata-rata eritrosit adalah 90-95 um3. Sesungguhnya, eritrosit merupakan satu “kantong” yang dapat diubah menjadi berbagai bentuk ketika sel berjalan melewati kapiler. Karena mempunyai membran yang sangat kuat, maka perubahan bentuk tadi tidak akan memecahkan sel, seperti yang akan terjadi pada sel lainnya.
4. Jumlah Hb dalam sel. Eritrosit mampu mengkonsentrasikan Hb intraseluler sampai sekitar 34 g/dl sel. Konsentrasi ini tak pernah meningkat lebih dari nilai tersebut, karena ini merupakan batas metabolik dari mekanisme pembentukan Hb sel. Pada orang normal, persentase Hb hampir selalu mendekati maksimum dalam setiap sel. Namun, bila pembentukan Hb dalam sumsum tulang berkurang, persentase Hb dalam sel dapat turun sampai di bawah nilai ini, dan akibatnya volume eritrosit juga menurun karena Hb untuk mengisi sel berkurang.
5. Konsentrasi Hb dan pengangkutan oksigen. Bila hematokrit (persentase sel dalam darah – normalnya 40-45%) dan jumlah Hb dalam masing-masing sel nilainya normal, maka seluruh darah seorang pria rata-rata mengandung Hb 16 g/dl, dan wanita 14 g/dl. Setiap gram Hb murni mampu berikatan dengan kira-kira 1,39 ml oksigen, sehingga lebih dari 19 - 21 ml oksigen dapat dibawa dalam bentuk gabungan dengan Hb pada setiap dl darah.
6. Organ yang memproduksi eritrosit. Dalam minggu-minggu pertama kehidupan embrio, eritrosit primitif yang berinti diproduksi oleh yolk sac. Sampai trimester kedua, hati merupakan organ produksi eritrosit yang utama. Lalu selama bulan terakhir kehamilan dan sesudah lahir, eritrosit hanya diproduksi oleh sumsum tulang. Sumsum tulang dari semua tulang mempro-duksi eritrosit selama 5 tahun, namun sumsum tulang panjang, kecuali proksimal humerus dan tibia, menjadi sangat berlemak dan tidak memproduksi eritrosit setelah usia 20 tahun. Setelah usia ini, eritrosit diproduksi dalam sumsum tulang membranosa, seperti vertebra, sternum, iga, dan ilium, yang produktivitasnya menurun pula seiring pertambahan usia.

2.2 Pembentukan dan pengaturan produksi eritrosit
1. Sel stem hemopoietik pluripoten menginduksi pertumbuhan & diferensiasi sel-sel darah.
 Pada sumsum tulang terdapat sel stem hemopoietik pluripoten, yang merupakan asal dari seluruh sel-sel dalam darah sirkulasi, termasuk eritrosit. Karena sel-sel darah diproduksi terus sepanjang hidup seseorang, maka sebagian sel-sel ini masih tepat seperti sel-sel pluripoten asalnya dan disimpan dalam sumsum tulang, walaupun jumlahnya berkurang seiring bertambahnya usia.
 Sebagian besar dari sel-sel stem yang direproduksi akan berdiferensiasi untuk membentuk sel-stem-commited, sel paling mula yang masih belum dapat dibedakan dari sel stem pluripoten, walaupun telah membentuk jalur sel khusus. Bila ditumbuhkan dalam biakan, sel stem ini akan menghasilkan koloni tipe sel darah yang spesifik yang bila menghasilkan eritrosit disebut unit pembentuk koloni eritrosit, dan singkatan CFU-E.
 Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel stem diatur oleh bermacam-macam protein yang disebut penginduksi pertumbuhan, misalnya interleukin 3, yang memicu pertumbuhan tetapi tidak membedakan sel-sel. Membedakan sel-sel adalah fungsi dari rangkaian protein lain, yang disebut penginduksi diferensiasi, menuju tipe akhir sel-sel darah dewasa.
 Pembentukan protein-protein tersebut dikendalikan oleh faktor-faktor di luar sumsum tulang. Pada eritrosit, kontak dengan oksigen yang rendah dalam waktu lama akan mengakibatkan induksi pertumbuhan, diferensiasi, dan produksi eritrosit dalam jumlah yang sangat meningkat.
2. Oksigenasi jaringan sebagai pengatur dasar dari produksi eritrosit.
Jumlah total eritrosit diatur secara teratur, sehingga jumlahnya cukup memadai untuk selalu dapat menyediakan oksigen bagi jaringan, namun tidak terlalu padat sehingga dapat menghalangi aliran darah. Setiap keadaan yang menyebabkan penurunan suplai oksigen ke jaringan akan meningkatkan kecepatan produksi eritrosit.
 Bila seseorang menjadi begitu anemik akibat perdarahan atau kondisi lain, maka sumsum tulang segera memproduksi eritrosit dalam jumlah yang banyak sekali.
 Bila terjadi kerusakan pada sebagian besar sumsum tulang, misalnya pada terapi dengan sinar-x, akan terjadi hiperplasia sumsum tulang yang tersisa, dalam usaha untuk menyediakan kebutuhan eritrosit dalam tubuh.
 Pada ketinggian yang sangat tinggi, di mana kadar oksigen dalam udara sangat rendah, maka jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan tidak cukup, dan produksi eritrosit pun meningkat. Jadi, bukan konsentrasi eritrosit dalam darah yang mengatur kecepatan produksi sel, melainkan kemampuan fungsional sel untuk mengangkut oksigen ke jaringan sehubungan dengan kebutuhannya akan oksigen.
 Bermacam-macam penyakit pada sistem sirkulasi, terutama yang menyebabkan kegagalan absorbsi oksigen oleh darah di paru-paru, dapat juga meningkatkan kecepatan produksi eritrosit, misalnya pada gagal jantung yang lama, serta berbagai penyakit paru. Hipoksia jaringan akibat keadaan ini akan meningkatkan kecepatan produksi eritrosit, dengan hasil akhir kenaikan hematrokit dan dan biasanya pun peningkatan volume darah total.
3. Pembentukan eritropoietin sebagai respon terhadap hipoksia.
 Faktor utama yang dapat merangsang produksi eritrosit adalah hormon dalam sirkulasi yang disebut eritropoietin, suatu glikoprotein dengan BM 34.000. Bila eritropoietin ini tidak ada, maka keadaan hipoksia tidak akan berpengaruh atau pengaruhnya sedikit sekali dalam perangsangan produksi eritrosit. Sebaliknya, bila sistem eritropoietin ini berfungsi, maka hipoksia akan dengan nyata meningkatkan produksi eritropoietin, dan eritropoietin selanjutnya akan meningkatkan produksi eritrosit sampai keadaan hipoksia tertanggulangi.
 Pada orang normal, kira-kira 90% dari seluruh eritropoietin dibentuk dalam ginjal, sisanya terutama dibentuk dalam hati. Pada seseorang yang kedua ginjalnya diangkat atau rusak, penderita akan menjadi sangat anemik, sebab 10 persen eritropoietin normal dari jaringan hati hanya cukup menyediakan 1/3 sampai 1/2 dari produksi eritrosit yang dibutuhkan.
 Keadaan hipoksia pada bagian tubuh lain, selain ginjal, juga akan merangsang sekresi eritropoietin, menunjukkan bahwa terdapat sinyal tambahan (khususnya epinefrin dan norepinefrin) ke ginjal untuk memproduksi eritropoeitin.
4. Peran eritropoietin dalam meningkatkan produksi eritrosit.
 Bila seseorang berada dalam atmosfer dengan kadar oksigen yang rendah, maka dalam beberapa menit sampai beberapa jam akan mulai dibentuk eritropoietin, yang mencapai maksimum dalam 24 jam. Namun sampai 5 hari kemudian, hampir tidak tampak lagi eritrosit baru dalam sirkulasi darah. Hal ini terjadi karena pengaruh utama eritropoietin adalah merangsang produksi proeritroblas dalam sumsum tulang dan mempercepat maturasinya. Produksi yang cepat ini akan terus berlangsung sampai jumlah eritrosit yang terbentuk cukup untuk mengangkut oksigen (dalam jumlah yang memadai) ke jaringan walaupun kadar oksigen rendah.
 Bila tidak ada eriropoietin, maka sumsum tulang hanya membentuk sedikit eritrosit. Pada keadaan ekstrem lain, bila eritropoietin yang terbentuk sangat banyak, dan tersedia banyak sekali Fe dan nutrisi lain yang diperlukan, kecepatan produksi eritrosit dapat meningkat sampai 10 lipat atau lebih. Karena itu, mekanisme pengaturan eritropoietin untuk eritrosit merupakan suatu mekanisme yang kuat.

2.3 Metabolime Besi
Karena Fe penting bagi pembentukan Hb perlu dimengerti cara Fe digunakan dalam tubuh.
1. Fe dalam tubuh.
Jumlah total Fe dalam tubuh (sekitar 4-5 gram), 65% dijumpai dalam bentuk Hb, 15-30 % disimpan dalam sistem retikukuloendotelial dan parenkim hati (khususnya dalam bentuk feritin), sekitar 4 % dalam bentuk mioglobin, 1 % dalam bentuk macam-macam senyawa heme, dan 0,1 % bergabung dengan protein transferin dalam plasma darah.
2. Absorpsi Fe.
Fe diabsorbsi dari semua bagian usus halus, diawali dengan sekresi apotransferin oleh hati melalui cairan empedu ke duodenum. Dalam usus halus, apotransferin berikatan dengan senyawa Fe maupun Fe bebas dari hemo atau mioglobin. Kombinasi yang disebut transferin ini kemudian diabsorbsi ke dalam sel epitel kemudian dilepaskan dalam bentuk transferin plasma.
3. Fe dalam plasma dan penyimpanan Fe.
Ikatan dengan transferin bersifat longgar sehingga Fe dapat dilepaskan ke setiap jaringan. Kelebihan Fe dalam darah disimpan dalam seluruh sel tubuh, tapi terutama di hepatosit hati dan sedikit di sel retikuloendotelial sumsum tulang. Dalam sitoplasma, Fe terutama bergabung dengan protein apoferitin untuk membentuk feritin. Fe yang disimpan sebagai feritin ini disebut Fe cadangan. Bila jumlah total Fe dalam tubuh melebihi jumlah yang dapat ditampung oleh apoferitin, sedikit Fe akan disimpan dalam bentuk yang tidak larut, yang disebut hemosiderin. Walaupun terdapat mekanisme pengaturan umpan balik untuk mengatur absorbsi Fe, bila seseorang makan banyak sekali senyawa Fe, maka Fe yang berlebihan masuk ke dalam darah dan dapat menyebabkan penyimpanan hemosiderin yang banyak sekali dalam sel-sel retikuloendotelial di seluruh tubuh. Suatu saat, hal ini dapat sangat merugikan.

2.4 Pematangan Eritrosit – Kebutuhan Vitamin B12 dan Asam Fosfat
Karena harus terus menerus memenuhi kebutuhan akan eritrosit, maka sel-sel sumsum tulang merupakan sel yang tumbuh dan bereproduksi paling cepat di seluruh tubuh. Adapun pematangan dan kecepatan produksinya dipengaruhi oleh keadaan nutrisi seseorang.
Dua vitamin yang penting untuk pematangan akhir dan sintesis DNA eritrosit adalah vitamin B12 dan asam fosfat. Defisiensi vitamin B12 atau asam folat dapat menyebabkan kegagalan pematangan dan pembelahan inti, sehingga menghasilkan eritrosit yang lebih besar, disebut makrosit, dengan membran yang sangat tipis dan bentuk yang tidak teratur. Sel ini secara normal mampu mengangkut oksigen, tetapi kerapuhannya menyebabkannya memiliki masa hidup yang pendek, yakni 1/2 sampai 1/3 normal.
1. Kegagalan pematangan sel akibat buruknya absorpsi vitamin B12 – anemia pernisiosa. Sel-sel parietal gaster mensekresi faktor intrinsik, yang bergabung dengan vitamin B12 dari makanan agar vitamin ini dapat diabsorpsi oleh usus. Begitu diabsorbsi, vitamin B12 akan disimpan dalam jumlah besar di hati dan dilepaskan secara lambat bila dibutuhkan oleh sumsum tulang dan jaringan tubuh lain. Bila faktor intrinsik tidak ada, maka banyak vitamin B12 yang terdapat di usus tidak dapat diabsorbsi. Hal ini terjadi pada anemia pernisiosa, di mana mukosa lambung mengalami atrofi. Namun hal ini juga tidak akan terjadi dengan segera. Jumlah minimal vitamin B12 yang dibutuhkan per hari untuk menjaga agar pematangan eritrosit tetap normal hanya sebesar 1-3 mikrogram, sedangkan yang disimpan dalam hati dan jaringan tubuh lain kira-kira 1000 kali jumlah ini. Jadi, untuk terjadinya anemia dibutuhkan 3-4 tahun.
2. Kegagalan pematangan akibat defisiensi asam folat.
Asam folat adalah bahan yang ditemukan pada sayuran hijau, buah-buahan tertentu, hati, dan makanan lain. Namun, bahan ini dengan mudah dihancurkan selama makanan dimasak. Pada orang-orang yang sering mengalami sprue (sariawan usus), sering terjadi kesulitan yang serius dalam mengabsorbsi asam folat maupun vitamin B12. Karena itu, kebanyakan peristiwa kegagalan maturasi disebabkan defisiensi absorbsi asam folat dan vitamin B12.

III. PATOFISIOLOGI ANEMIA
3.1 Patofisiologi berbagai jenis anemia
Anemia berarti kurangnya eritrosit, yang dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi eritrosit. Beberapa tipe anemia dan penyebab fisiologisnya adalah sebagai berikut :
1. Anemia akibat kehilangan darah (defisiensi Fe).
Setelah mengalami perdarahan yang cepat, maka tubuh akan mengganti cairan plasma dalam 1-3 hari, namun hal ini akan menyebabkan konsentrasi eritrosit menjadi rendah. Bila perdarahan tidak berlanjut, konsentrasi eritrosit biasanya kembali normal dalam 3-6 minggu. Pada kehilangan darah yang kronis, penderita seringkali tak dapat mengabsorbsi cukup Fe dari usus halus untuk membentuk Hb secepat darah yang hilang. Akibatnya terbentuk eritrosit dengan sedikit sekali Hb, sehingga menimbulkan keadaan anemia hipokromik mikrositik.
2. Anemia aplastik.
Aplasia sumsum tulang berarti tidak berfungsinya sumsum tulang. Pada seseorang yang terpapar radiasi sinar gamma akibat ledakan bom atom terjadi kerusakan sumsum tulang yang menyeluruh, yang diikuti dalam beberapa minggu diikuti dengan anemia yang mematikan. Demikian juga, terapi sinar-x yang berlebihan, bahan-bahan kimia pada industri tertentu, dan pada penderita sensitif bahkan obat-obatan dapat mengakibatkan efek yang sama.
3. Anemia megaloblastik.
Bila salah satu faktor yang penting dalam pembentukan eritrosit hilang (seperti vitamin B12, asam folat, dan faktor-faktor intrinsik dari mukosa lambung), maka produksi eritroblas dalam sumsum tulang menjadi terganggu. Eritroblas tidak dapat berpoliferasi secara cepat untuk membentuk eritrosit dalam jumlah normal, sehingga tumbuh terlalu besar dengan bentuknya yang aneh, yang disebut megaloblas. Membrannya pun rapuh sehingga mudah pecah. Jadi, pada atropi mukosa lambung (seperti pada anemia pernisiosa) atau setelah gastrektomi total, dapat terjadi anemia megaloblastik. Juga pada penderita sariawan usus (intestinal sprue), di mana asam folat dan vitamin B12 sedikit sekali diabsorbsi, sering terjadi anemia megaloblastik.
4. Anemia hemolitik.
Pada bermacam bentuk eritrosit yang abnormal (kebanyakan herediter), sel-sel bersifat rapuh, sehingga mudah robek sewaktu melewati kapiler, terutama limpa. Walaupun jumlahnya normal, atau bahkan berlebihan, masa hidup eritrosit ini sangat singkat sehingga sering mengakibatkan anemia yang berat. Beberapa tipe anemia ini adalah antara lain :
 Pada sferositosis herediter, eritrosit berukuran sangat kecil dan berbentuk sferis. Sel-sel ini tak dapat dikompresi sebab tidak memiliki struktur membran seperti kantong yang lentur. Saat melewati pulpa lienalis, sel-sel mudah robek walaupun hanya dengan sedikit tekanan.
 Pada anemia sel bulan sabit, eritrosit mengandung tipe Hb S yang abnormal. Bila Hb ini terpapar dengan oksigen kadar rendah, ia akan mengendap menjadi kristal-kristal panjang dalam eritrosit yang memperpanjang sel dan lebih memberi gambaran sel seperti bulan sabit. Endapan Hb juga merusak membran sel, sehingga sel menjadi sangat rapuh.
 Hemolisis juga dapat disebabkan oleh reaksi transfusi, malaria, dan obat-obatan tertentu.

3.2 Pengaruh anemia terhadap sistem sirkulasi
1. Beban kerja jantung. Viskositas darah, hampir seluruhnya bergantung pada konsentrasi eritrosit. Pada anemia berat, viskositas darah dapat turun hingga serendah 1,5 kali air (normal + 3 kali air). Hal ini akan mengurangi hambatan terhadap aliran darah di perifer, sehingga jumlah darah yang kembali ke jantung menjadi jauh melebihi normal. Selain itu, hipoksia yang terjadi akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah perifer, yang makin meningkatkan curah jantung. Jadi, salah satu efek utama dari anemia adalah meningkatkan beban kerja jantung.
2. Kompensasi tubuh. Sebenarnya, peningkatan curah jantung pada anemia sebagian dipakai untuk mengimbangi efek-efek anemia. Walaupun tiap unit jumlah darah hanya mengangkut sedikit sekali oksigen, karena kecepatan aliran darah cukup meningkat, jumlah oksigen yang dialirkan ke jaringan hampir mendekati normal. Namun, bila penderita anemia mulai beraktivitas, jantung tidak mampu memompa darah lebih banyak. Akibatnya dapat timbul hipoksia jaringan yang serius dan seringkali terjadi gagal jantung akut.
3. Efek lain anemia terhadap tubuh.
Secara lengkap, patofisiologi dan manifestasi anemia adalah :
 Menurunnya konsumsi oksigen
 Menurunnya afinitas oksigen
 Meningkatnya perfusi jaringan
 Meningkatnya curah jantung
 Meningkatnya fungsi paru
 Meningkatnya produksi sel darah merah
 Hipoksia jaringan yang tidak terkoreksi

IV. KLASIFIKASI ANEMIA
1. Anemia relatif dan absolut.
Berdasarkan penentuan jumlah eritrosit, anemia harus diklasifikasikan terlebih dahulu menjadi anemia yang relatif atau absolut. Anemia yang relatif ditandai dengan jumlah sel darah yang normal. Kondisi ini biasanya tidak dianggap sebagai suatu kelainan hematologis, namun lebih sebagai gangguan pada pengaturan dari volume plasma. Walaupun demikian, anemia dilusi ini penting secara klinis maupun dalam diagnosis banding dari keadaan anemia lainnya.
2. Pembagian utama anemia yang absolut.
Pembagian anemia yang absolut awalnya harus membagi anemia menjadi anemia akibat :
 Penurunan produksi eritrosit, atau
 Peningkatan penghancuran eritrosit
Pembagian ini secara luas didasarkan pada indeks retikulosit. Untuk petunjuk diagnosis selanjutnya, dapat digunakan kriteria morfologis ataupun patofisiologis.
3. Klasifikasi morfologis.
Klasifikasi morfologis membagi anemia lebih lanjut menjadi :
 Anemia makrositik
 Anemia normositik
 Anemia mikrositik

Selain sederhana dan mudah digunakan, pembagian ini juga memaksa para klinisi untuk selalu mempertimbangkan jenis anemia terpenting yang dapat diterapi : anemia defisiensi besi, vitamin B12, dan asam folat. Walaupun demikian, klasifikasi patofisiologis (tabel 1) paling baik diterapkan untuk menghubungkan proses yang terjadi dengan terapi yang akan diberikan.

Tabel 1. Klasifikasi Anemia


A. Relatif
 Makroglobulinemia
 Kehamilan
 Olahragawan
 Astronot pasca terbang
B. Absolut
1. Penurunan produksi eritrosit.
 Kegagalan sel-sel induk (stem-cell failure)
 Anemia aplastik
 Anemia pada leukemia dan sindroma myelodisplastik
 Kegagalan sel-sel progenitor (progenitor-cell failure)
 Pure-red cell aplasia
 Gagal ginjal
 Penyakit kronis
 Kelainan endokrin
 Kegagalan sel-sel prekursor (precursor-cell failure)
 Anemia megaloblastik
 Anemia defisiensi besi
 Talasemia
 Hemoglobinopati
 Defisiensi enzim kongenital
1. Peningkatan penghancuran atau kehilangan eritrosit.
 Herediter / keturunan
 Defek membran
 Defek globin
 Defek enzim
 Diperoleh
 Makroangiopati (traumatik)
 Mikroangiopati
 Antibody-mediated
 Hipersplenisme
 Kehilangan darah akut


(Diterjemahkan dari Erslev, 2001)

V. PENDEKATAN DIAGNOSIS ANEMIA
1. Anemia dan hipoksia jaringan.
Anemia ditandai dengan menurunnya jumlah sel-sel darah merah. Karena dihubungkan dengan penurunan kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah, anemia menyebabkan berbagai keluhan akibat hipoksia jaringan. Manifestasi klinis yang timbul secara primer berhubungan dengan upaya kompensasi tubuh yang dirangsang oleh keadaan hipoksia.
2. Anemia akut hampir selalu berhubungan dengan kehilangan darah atau hemolisis.
 Pada kehilangan darah akut, gambaran klinik didominasi oleh hipovolemia. Hematokrit serta kadar hemoglobin tidak menggambarkan volume darah yang hilang. Tanda-tanda instabilitas vaskuler menonjol pada kehilangan darah akut sebanyak 10-15% dari volume darah total. Pada penderita seperti ini, yang menjadi masalah bukanlah anemia, melainkan hipotensi dan menurunnya perfusi organ.
 Pada penyakit hemolitik akut, tanda dan gejala tergantung dari mekanisme yang menyebabkan kerusakan sel darah merah. Hemolisis intravaskular dengan pelepasan hemoglobin bebas dapat disertai nyeri punggung akut, adanya hemoglobin bebas dalam plasma dan urin, serta gagal ginjal.
3. Anemia kronis.
 Gejala-gejala yang menyertai anemia yang lebih kronis atau progresif tergantung pada usia penderita dan kecukupan suplai darah ke organ-organ kritis. Gejala-gejala yang menyertai anemia moderat meliputi kelelahan, menurunnya / hilangnya stamina, sesak nafas, dan takikardia (khususnya setelah aktivitas fisik). Walaupun begitu, dengan adanya mekanisme kompensasi, anemia terutama pada usia muda dapat tidak disertai tanda atau gejala sampai menjadi berat (hemoglobin < 7-8 g/dL). 4. Anemia pada keadaan tertentu. Berbagai penyakit tertentu umumnya disertai dengan anemia. Keadaan inflamasi kronis (misalnya infeksi, artritis rematoid) disertai dengan anemia ringan sampai sedang, sedangkan gangguan limfoproliferatif, seperti leukemia limfositik kronis dan neoplasma sel B yang lain, dapat disertai dengan hemolisis autoimun. 5.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik Evaluasi pada penderita anemia membutuhkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama. 1. Riwayat penyakit dahulu. Riwayat penyakit yang sekiranya berguna antara lain meliputi paparan terhadap agen toksik atau obat-obatan tertentu dan adanya gejala-gejala yang berhubungan dengan gangguan lain yang biasanya disertai dengan anemia. Hal ini termasuk gejala dan tanda seperti perdarahan, kelelahan, malaise, demam, kehilangan berat badan, keringat malam, dan gejala-gejala sistemik lainnya. 2. Riwayat nutrisi. Sebaiknya selalu dilakukan penilaian riwayat nutrisi yang terkait dengan penggunaan obat-obatan atau alkohol dan riwayat anemia dalam keluarga. Latar belakang geografis dan suku / etnis tertentu berhubungan dengan peningkatan kemungkinan adanya kelainan herediter molekul hemoglobin. 3. Penemuan fisik. Pada penderita anemia, hasil pemeriksaan fisik dapat menunjukkan denyut jantung dan denyut nadi perifer yang kuat, dan systolic “flow” murmur. Kulit dan membran mukosa dapat menjadi pucat jika kadar hemoglobin < 8-10 g/dL. Dalam hal ini, pemeriksaan fisik ini harus difokuskan pada daerah di mana pembuluh darah dekat dengan permukaan, seperti membran mukosa, jaringan di bawah kuku (nail beds), dan telapak tangan (palmar creases). Jika warna telapak tangan tampak lebih terang daripada kulit di sekelilingnya (ketika tangan hiperekstensi), kadar hemoglobin biasanya < 8 g/dL). 4. Patofisiologi anemia. Petunjuk terhadap mekanisme anemia diperoleh dari pemeriksaan fisik, dengan ditemukannya tanda-tanda infeksi, darah dalam feses, limfadenopati, splenomegali, atau ptekiae. Splenomegali dan limfadenopati memberi kesan limfoproliferatif sebagai penyakit yang mendasari, sedangkan ptekiae memberi kesan adanya disfungsi platelet. Bila tidak ada kepastian apakah anemia ringan sekedar merupakan variasi normal yang ekstrim, hasil pemeriksaan laboratorium yang lalu mungkin dapat membantu. 5.2 Evaluasi hasil laboratorium 1. Pemeriksaan darah lengkap.  Pemeriksaan darah lengkap yang rutin dibutuhkan sebagai bagian dari evaluasi. Namun perlu diingat bahwa sejumlah faktor-faktor fisiologis mempengaruhi nilai normal pemeriksaan darah lengkap, yaitu umur, jenis kelamin, kehamilan, riwayat merokok, dan ketinggian tempat dari permukaan laut. Kadar hemoglobin normal tinggi dapat terjadi pada pria dan wanita yang tinggal di ketinggian atau perokok berat.  Perubahan-perubahan nyata pada indeks sel darah merah biasanya menggambarkan gangguan pematangan atau defisiensi besi. Hasil laboratorium juga menyediakan pemeriksaan gambaran sel darah merah maupun putih, hitung jenis sel darah putih, dan hitung platelet. Pada penderita anemia berat dengan morfologi eritrosit yang abnormal, aspirasi sumsum tulang atau biopsi penting untuk membantu penegakan diagnosis.  Komponen pemeriksaan darah lengkap juga membantu pengelompokan/klasifikasi anemia. Mikrositosis digambarkan dengan MCV yang lebih rendah dari normal (<80), sedangkan nilai yang tinggi (>100) menggambarkan makrositosis. Namun MCV, karena mewakili puncak dari kurva distribusi, tidak sensitif terhadap kemunculan populasi kecil dari makrosit atau mikrosit. MCH dan MCHC menggambarkan defek pada sintesis Hb (hipokromia).

Tabel 2. Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis Anemia


I. Pemeriksaan darah lengkap
A. Hitung sel darah merah
1. Hemoglobin
2. Hematokrit
B. Indeks sel darah merah
1. Mean cell volume (MCV)
2. Mean cell hemoglobin (MCH)
3. Mean concentration of hemoglobin per volume of red cells (MCHC)
4. Red cell distribution width (RDW)
C. Hitung sel darah putih
1. Diferensiasi sel (cell differential)
2. Segmentasi nukleus netrofil
D. Hitung platelet
E. Morfologi sel
1. Ukuran sel
2. Isi hemoglobin
3. Anisositosis
4. Poikilositosis
5. Polikromasia

II. Hitung retikulosit

III. Pemeriksaan suplai besi
A. Kadar besi dalam serum
B. Total iron-binding capacity
C. Feritin dalam serum, marrow iron stain

IV. Pemeriksaan sumsum tulang
A. Aspirasi
1. Rasio E/G (rasio eritroid terhadap prekursor granulotik)
2. Morfologi sel
3. Pewarnaan besi (iron stain)
B. Biopsi
1. Selular
2. Morfologi

(Diterjemahkan dari Adamson & Longo, 2001)


2. Sediaan apus darah tepi (SADT).
SADT dapat memberikan informasi penting mengenai adanya defek dalam produksi sel darah merah. Sebagai pelengkap dari indeks sel darah merah, SADT juga dapat menampakkan variasi ukuran sel (anisositosis) dan variasi bentuk sel (poikilositosis). SADT dapat juga mengungkapkan adanya polikromasia (sel darah merah yang sedikit lebih besar dari normal dan berwarna biru keabuan pada perwarnaan dengan Wright-Giemsa). Kemunculan sel darah merah berinti, badan Howell-Jolly, sel target, sel bulan sabit, dan lainnya merupakan petunjuk akan adanya gangguan spesifik.
3. Hitung retikulosit.
Hitung retikulosit yang akurat adalah kunci menuju klasifikasi awal dari anemia. Dalam keadaan normal, retikulosit adalah sel darah merah yang baru saja dilepaskan dari sumsum tulang. Secara normal, hitung retikulosit berkisar antara 1 – 2 % dan menggambarkan pergantian harian (daily replacement) 0,8 sampai 1,0% dari populasi sel darah merah dalam sirkulasi. Interpretasi hitung retikulosit yang tepat merupakan pengukuran produksi sel darah merah yang terpercaya/dapat diandalkan. Namun perlu diingat, bahwa penggunaan hitung retikulosit untuk memperkirakan respon sumsum tulang membutuhkan dua jenis koreksi.



DAFTAR PUSTAKA
Adamson, JW; Longo, DL. 2001. Hematologic Alterations : Anemia and Polycythemia. Dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th Edition. Editor: Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. USA: McGraw-Hill International.
Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. 2002. Anemia and Polycythemia. Dalam Harrison’s Manual of Medicine 15th Edition. India: McGraw-Hill International.
Erslev, Allan. 2001. The Erythrocyte : Clinical Manifestations and Classification of Erythrocyte Disorders. Dalam Williams Hematology 6th Edition. USA.
Guyton, AC; Hall, JE. 1996. Sel-Sel Darah Merah, Anemia, Dan Polistemia. Dalam Fisiologi Kedokteran edisi ke-9. Alih bahasa : Irawati Setiawan, Ken Ariata Tengadi, Alex Santoso, cetakan I 1997. Jakarta : Penerbit EGC
Mattingly, D; Seward, C. 1989. Anemia. Dalam Bedside Diagnosis edisi Ke-13. Editor Bahasa Indonesia : Soeliadi Hadiwandowo, cetakan tahun 1996. Semarang : Gadjah Mada University Press.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Blog Pinger Free