SubmitYahoo PENGELOLAAN LIMBAH TERNAK ~ Febri Irawanto - ilmu kita

Google Plus

Kamis, 20 Desember 2012

PENGELOLAAN LIMBAH TERNAK


PENGELOLAAN LIMBAH TERNAK

 LATAR BELAKANG

         Tanah sangat penting artinya bagi usaha pertanian karena kehidupan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan dan segala makhluk hidup di dunia sangat memerlukan tanah. Akan tetapi arti yang penting ini kadang-kadang diabaikan oleh manusia, sehingga tanah tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya. Tanah menjadi gersang dan dapat menimbulkan berbagai bencana, sehingga tidak lagi menjadi sumber dari segala kehidupan.
         Manusia sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di dunia dituntut agar dapat melestarikan “arti penting” tanah bagi segala kehidupan di dunia. Artinya manusia tidak sepantasnya hanya mengeruk keuntungan yang terdapat dalam tanah, melainkan mempunyai kewajiban untuk memelihara tanah tersebut, agar tanah tetap dapat berfungsi memberikan atau menyediakan sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya yang tumbuh dan berkembang di dunia.
         Bagi usaha pertanian tanah mempunyai arti yang penting selain iklim dan air. Segala tumbuh-tumbuhan dan hasil-hasilnya yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia sepanjang masa akan sangat tergantung kepada keadaan tanah. Padahal di lain pihak juga diketahui bahwa usaha pertanian menginginkan hasil yang sebanyak-banyaknya, sehingga kemudian dicari cara untuk memanfaatkan potensi tanah pertanian seoptimal mungkin melalui berbagai penelitian dan percobaan.
         Salah satu hasil pemikiran mengenai peningkatan kemampuan tanah adalah revolusi hijau yang dikembangkan di Indonesia pada awal 1970-an atau tepatnya pada tahun 1968 dengan dikenal dengan program BIMAS yang telah mampu mengubah sikap petani dari anti teknologi menjadi sikap mau memanfaatkan teknologi pertanian modern, seperti pupuk kimia, obat-obatan perlindungan dari hama dan bibit unggul. Pada dasarnya penggunaan teknologi tersebut ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanah.
         Dalam kenyataannya, memang revolusi hijau tersebut telah mampu mencapai tujuan makronya yaitu peningkatan produktivitas, khususnya pada sub sektor pangan. Akan tetapi pada tingkat mikro, revolusi hijau tersebut telah menimbulkan dampak negatif pada kondisi tanah itu sendiri yaitu adanya gangguan keseimbangan unsur hara dalam tanah, bagi kesehatan manusia kandungan residu pestisida dalam produk pangan yang menggunakan pupuk kimia membahayakan tubuh manusia, di samping itu menurut Soetrisno (1998) masalah yang sangat penting yaitu uniformitas bibit.
         Dari berbagai akibat penggunaan pupuk kimia tersebut masalah yang timbul antara lain : 1) Tanaman menjadi sangat rawan terhadap hama, meskipun produktivitasnya tinggi namun tidak memiliki ketahanan terhadap hama, 2) Pembodohan terhadap petani yang diindikasikan dengan hilangnya pengetahuan lokal dalam mengelola lahan pertanian dan ketergantungan petani terhadap paket  teknologi pertanian produk industri.
         Ketergantungan petani terhadap produk industri tersebut menjadikan sarana dan prasarana produksi pertanian menjadi rawan terhadap permainan harga oleh produsen maupun kondisi eksternal lain. Sebagai contoh pada saat krisis moneter di Indonesia yang mulai terjadi pada tahun 1997, maka dengan rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, mengakibatkan sarana produksi pertanian seperti pupuk, pestisida harganya naik antara 200 – 400% sehingga pemakaian pupuk menurun yang mengakibatkan produktivitas pertanian menurun.
Memasuki era pasar bebas dengan diberlakukannya standar tertentu dalam setiap produk termasuk produk pertanian, pemberlakukan standard ISO dan Eco-Labelling yang mensyaratkan produksi yang ramah lingkungan, maka sektor pertanian memperoleh tantangan baru dan membutuhkan permikiran yang serius bagi ahli pertanian dan ahli yang terkait agar tetap mampu bersaing di dunia internasional. Penggunaan bahan organik yang recycleable dan ramah lingkungan dalam produksi pertanian agar diupayakan untuk tetap mempertahankan produktivitas lahan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Wijaya (2002) mengungkapkan bahwa hampir 90% produk-produk pertanian di Indonesia diproduksi dengan menggunakan bahan anorganik seperti pupuk kimia dan pestisida, sehingga besar kemungkinan produk pertanian Indonesia tidak memenuhi standar internasional dan tidak diminati oleh pasar internasional. Kurangnya minat pasar internasional terhadap produk pertanian dalam negeri tersebut dikarenakan semakin meningkatnya kesadaran mengenai kesehatan makanan, padahal dengan penggunaan bahan-bahan kimia dalam pertanian dapat mengganggu kesehatan manusia. Oleh karena itu untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dalam menghasilkan produk pertanian yang mampu bersaing di pasar internasional perlu diupayakan pemenuhan terhadap minat konsumen yang membutuhkan konsumsi pangan  bebas  bahan anorganik. Untuk itu perlu segera digalakkan produk-produk pertanian organik di Indonesia dengan cara meningkatkan penggunaan pupuk organik dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik sebagai sarana produksinya yang didukung dengan keanekaragaman hayati terutama bibit dan pestisida organik.
Pupuk organik merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari alam dengan jumlah dan jenis unsur hara yang terkandung secara alami (Musnamar, 2003). Dapat dikatakan bahwa pupuk organik merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam upaya memperbaiki kesuburan tanah secara aman, dalam arti produk pertanian yang dihasilkan imbah yang merupakan sisa pembuangan dari suatu proses kegiatan manusia dapat berbentuk padat, cair dan gas, dari segi estetika sangat kotor, tidak enak dipandang dan juga dari segi bau sangat mengganggu. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung limbah menimbulkan ketidaknyamanan di sekitarnya sebab pembuangan limbah ke lingkungan umumnya tidak diikuti dengan upaya pengelolaan maksimal, karena selalu dikaitkan dengan teknologi dan pengelolaan yang relatif mahal.
Limbah yang dibuang terus-menerus tanpa ada pengelolaan yang maksimal dapat menimbulkan gangguan keseimbangan lingkungan. Oleh karenanya, orang cenderung mengatakan telah terjadi pencemaran, yaitu suatu keadaan di mana zat  atau energi diintroduksikan ke dalam lingkungan oleh suatu kegiatan manusia atau oleh proses alam dalam konsentrasi sedemikian rupa sehingga menyebabkan lingkungan tidak berfungsi seperti semula dalam arti kesehatan, kesejahteraan dan keselamatan hayati (Danusaputro, 1978).
Menurut Holdgate (1979) pencemaran lingkungan adalah dimasukkannya energi atau substansi ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia, sehingga mengganggu ekosistem kehidupan, merusak struktur lingkungan, dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dix (1981), menjelaskan pencemaran sebagai suatu peristiwa perubahan lingkungan yang menyangkut pola energi dan sumber daya misalnya air, tanah, dan udara, sehingga menjadi kurang atau tidak berfungsi sama sekali sebagaimana mestinya bagi kepentingan makhluk hidup. Penyebabnya adalah manusia atau peristiwa alam itu sendiri.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pada umumnya limbah menimbulkan pencemaran. Oleh karena itulah penggunaan limbah yang berupa feses dan urine sapi perah sebagai bahan dasar pupuk organik merupakan nilai tambah bagi petani, karena dengan penanganan tertentu maka limbah yang tadinya dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sekarang malah dapat dijadikan bahan dasar sebagai pembuatan pupuk cair, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani.
Penggunaan feses sapi perah untuk pupuk telah digunakan sejak lama, namun untuk urine belum banyak dimanfaatkan. Salah satu dusun yang telah memanfaatkan limbah urine sapi perah sebagai bahan dasar pupuk organik cair adalah Dusun Ngandong Desa Girikerto yang terletak di Kecamatan Turi Sleman Yogyakarta. Populasi ternak sapi perah di Dusun Ngandong berjumlah 100 ekor yang mampu menghasilkan kurang lebih 1500 hingga 2000 liter urine setiap harinya. Jumlah yang demikian besar merupakan potensi tersendiri apabila dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik cair. Dimana limbah tersebut apabila tidak ditangani dengan baik dan hanya dibuang akan sangat mengganggu dan mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.  
Hasil wawancara pendahuluan dengan petani ternak yang melakukan pembuatan pupuk organik cair thilurine tersebut memberikan informasi awal bahwa urine sapi yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan pupuk organik cair thilurine dilakukan dengan pemberian bahan campuran tertentu untuk meningkatkan kandungan unsur hara seperti N, P, K dan total koloni bakteri. Bahan campuran tersebut adalah kotoran kambing, kotoran kelelawar, bakteri rumen dan media pengembangbiakannya (terdiri dari katul, tetes tebu dan susu segar), akar bambu, pisang ambon/klutuk, dan trasi susu segar.

Pemanfaatan Limbah Ternak

          Berbagai manfaat dapat dipetik dari limbah ternak, apalagi limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable) selama ada ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan.  Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances).  Limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media pelbagai tujuan (Sihombing, 2002). 


A.      Limbah Ternak Sebagai Bahan Pakan dan Media Tumbuh

          Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein, lemak BETN, vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya.  Ternak membutuhkan sekitar 46 zat makanan esensial agar dapat hidup sehat.  Limbah feses mengandung 77 zat atau senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa toksik untuk ternak.  Untuk itu pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak memerlukan pengolahan lebih lanjut.  Tinja ruminansia juga telah banyak diteliti sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi secara anaerob (Prior et al., 1986).
          Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti  menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).

B.   Limbah Ternak Sebagai Penghasil Gasbio

          Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi.  Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar gasbio.  Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas.  Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi.  Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi.  Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986).
          Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora, 1989).  Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3.  Menurut Maramba (1978) produksi gasbio sebanyak 1275-4318 I dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari. 
          Bahan gasbio dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran hewan (manure), kotoran manusia dan campurannya.  Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil gasbio dan hasil yang diperoleh memuaskan (Harahap et al., 1980).  Perbandingan kisaran komposisi gas dalam gasbio antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.

 Tabel 1.  Komposisi gas dalam gasbio (%) antara kotoran sapi dan campuran
                kotoran ternak dengan sisa pertanian.

Jenis gas
Kotoran sapi
Campuran kotoran ternak dan sisa pertanian
Metan (CH4)
Karbondioksida (CO2)
Nitrogen (N2)
Karbonmonoksida (CO)
Oksigen (O2)
Propen (C3H8)
Hidrogen sulfida (H2S)
Nilai kalor (kkal/m3)
65.7
27.0
2.3
0.0
0.1
0.7
tidak terukur
6513
54-70
45-27
0.5-3.0
0.1
6.0
-
sedikit sekali
4800-6700
Sumber : Harahap et al. (1978).

          Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang meliputi tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik.  Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana, perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer.  Pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam.  Produk akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan amoniak.  Sedangkan pada tahap metanogenik adalah proses pembentukan gas metan. 

Sedangkan bakteri-bakteri anaerob yang berperan dalam ketiga fase di atas terdiri dari :
1.    Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria) yang merombak senyawa organik menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu berupa asam organik, CO2, H2, H2S.
2.   Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic bacteria) yang merubah asam organik, dan senyawa netral yang lebih besar dari metanol menjadi asetat dan hidrogen. Bakteri penghasil metan (metanogens), yang berperan dalam merubah asam-asam lemak dan alkohol menjadi metan dan karbondioksida.  Bakteri pembentuk metan antara lain Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanosarcina.






C.      Limbah Ternak Sebagai Pupuk Organik

          Di negara China tidak jarang dapat dilihat pembuangan limbah peternakan disatukan penampungannya dengan limbah manusia, untuk kemudian dijadikan pupuk organik tanaman hortikultura.  Selain itu ada juga yang mencampurnya dengan lumpur selokan, untuk kemudian digunakan sebagai pupuk.  Sebanyak 8-10 kg tinja yang dihasilkan oleh seekor sapi per hari dapat menghasilkan pupuk organik atau kompos 4-5 kg per hari          mengungkapkan bahwa produksi kokon tertinggi diperoleh dari pemanfaatan 50 % limbah feces sapi yang dicampur dengan 50% limbah organik rumah tangga, yang bermanfaat untuk dijadikan pupuk organik.

D.    Manfaat Limbah Ternak Lainnya

          Di India dengan adanya tinja sapi sebanyak 5 kg perekor dan kerbau 15 kg perekor, oleh pemerintah India disarankan untuk dihasilkannya dung cake (briket) secara massal sebagai sumber energi (Jha, 2002).  Dilaporkan dari percobaan Basak and Lee (2001) bahwa tinja sapi yang segar pada perbandingan 1:2 mampu mengendalikan (100%) patogen cendawan akar mentimun (Cucumis sativus L.) dari serangan root rot oleh Fusarium solani f.sp. cucurbitae Synder and Hansen, dan layu oleh Fusarium oxysporum f.sp. cucumerinum Owen. Tinja sapi kemungkinan memiliki mekanisme pertahanan dan memberikan perlindungan pada bagian leher tanaman.

E.        Sebagai bahan pembuatan biorang
Penggunaan kotoran ternak sebagai bahan pembuatan biorang tidak saja sebagai merupakan cara pemanfaatan energi yang lebih baik tetapi juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh kotoran ternak. Pembuatan biorang berbeda dengan pembuatan biogas. Dimana pembuatan biorang dilakukan dengan merobah kotoran ternak dalam bentuk briket dengan menggunakan alat cetak. Briket yang sudah terbentuk dikeringkan dengan sinar matahari. Setelah kering, briket tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Alat pemanas diletakkan diatas kompor atau tungku. Setelah briket berubah jadi arang yang ditandai dengan habisnya asap yang keluar pada tempat pemanas. Lalu alat pemanas di buka dan briket yang masih membara disemprot dengan air.
Briket yang sudah jadi arang ini dapat dipakai sebagai bahan bakar untuk
memasak atau kebutuhan rumah tangga. Kelebihan biorang dari arang kayu biasa adalah :
(1) Dapat menghasilkan panas pembakaran yang tinggi,
(2) Asap yang dihasilkan sedikit,
(3) Bentuknya lebih seragam karena pembuatannya dengan dicetakkan mempergunakan alat, (4) Tampilan arangnya lebih menarik,
(5) Pembuatan bahan baku dari bahan yang tidak menimbulkan masalah dan dapat mengurangi pencernaan lingkungan,
(6) Kedua jenis bahan bakar ini yaitu bio gas dan biorang pada kondisi tertentu dapat menggantikan fungsi minyak tanah dan kayu sebagai sumber energi bahan bakar  untuk keperluan rumah tangga. Penulis, Peneliti BPTP-Sumbar

Kesimpulan

  1. Ekskreta ternak ruminansia berpeluang mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan. Namun memperhatikan komposisinya, ekskreta masih dapat dimanfaatkan lagi sebagai bahan pakan, pupuk organik,  gas bio, dan briket energi.
  2. Pemanfaatan limbah ternak akan mengurangi tingkat pencemaran lingkungan (air, tanah, udara). 

Semoga bermanfaat dan salam hangat bagi sobat blogger 


Posted by Febri Irawanto

1 komentar:

I will bookmark this site and take the feeds also…I’m happy to locate so much useful information right here within the article. Celebrity net worth is a celebrity finance outlet that offers a comprehensive database of celebrity net worth's in the world.

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Blog Pinger Free