SubmitYahoo Struktur Sosial ~ Febri Irawanto - ilmu kita

Google Plus

Minggu, 11 September 2011

Struktur Sosial


Struktur Sosial

Struktur sosial dipahami sebagai suatu bangunan sosial yang terdiri dari berbagai unsur pembentuk masyarakat. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain dan fungsional. Artinya kalau terjadi perubahan salah satu unsur, unsur yang lain akan mengalami perubahan juga. Unsur pembentuk masyarakat dapat berupa manusia atau individu yang ada sebagai anggota masyarakat, tempat tinggal atau suatu lingkungan kawasan yang menjadi tempat dimana masyarakat itu berada dan juga kebudayaan serta nilai dan norma yang mengatur kehidupan bersama tersebut.

Tiap unsur tersebut akan membentuk sistem atau pola hubungan yang menjadi roh dari struktur tersebut sekaligus menunjukan dinamika sosial yang terjadi didalamnya. Hubungan antar individu menghasilakan pola-pola hubungan yang ada, dalam bentuk status dan peran masing-masing. Hubungan anatara individu dan kelompok akan memunculkan proses sosialisasi dan juga pola interaksi yang ada. Sementara hubungan antara manusia dengan lingkungannya akan menimbulkan kebudayaan baik yang bersifat material maupun kebudayaan material. Pola hubungan-hubungan yang terjdi dari berbagai unsure kehidupan masyarakat ini akan menjadi ciri dari masyarakat mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan masyarakat lainnya.

Koentjaraningrat ( 1983:175) menjelaskan bahwa struktur sosial adalah kerangka yang dapat menggambarakan kaitan berbagai unsur dalam masyarakat. Sementara itu Soeleman B, Taneko (1983:12) menjelaskan bahwa struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yakni kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial.

Jika struktur sosial diibaratkan sebagai sebuah gedung bertingkat tiga, dan atap gedung tersebut adalah kebudayaan masyarakatnya, maka atap tersebut tidak saja sebagai atap bangunan gedung paling atas, melainkan juga atap bagi lantai dua dan laintai satu juga. Bangunan sosial ini dapat kokoh berdiri karena adanya pola hubungan sosial yang terjadi di dalamnya. Pola tersebut adalah hubungan individu dengan individu, hubungan individu dengan kelompok dan hubungan kelompok dengan kelompok yang ada. Pola hubungan ini akan berlangsung di bawah norma dan nilai yang mereka sepakati bersama. Misalnya dalam bangunan gedung di atas, pintu dan jendela memiliki fungsi yang berbeda, pintu dan jendela sebagai norma yang mengatur perilaku penghuninya. Jika dia memasuki ruangan tertentu dalam gedung tersebut mereka akan menggunakan pintu sebagai jalan mereka memasuki ruangan dan bukan melalui jendela, walaupun jendela dekat dengan posisi berdiri seseorang yang akan memasuki ruangan.dan mereka bisa memasuki ruangan melalui jendela, akan tetapi hal ini tidak lazim atau tidak sesuai dengan peraturan atau nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.

Demensi Struktural ada dua macam yaitu demensi vertical dan demensi horizontal. Demensi vertical akan melihat masyarakat secara bertingkat. Jika itu bangunan gedung di atas adalah tembok dengan lantai-lantainya dengan tangga sebagai penghubung antara lantai yang ada. Sebagai kenyataan sosial demensi vertical akan nampak pada stratifikasi sosial, kelas sosial dan status sosial dalam masyarakat. Apakah seseorang berada pada lapisan atas, menengah atau bawah dan apakan dia termasuk pada orang yang berada dikelas atas, menengah atau bawah adalah wujud dari demensi struktur sosial secara vertical.

Demensi horizontal biasa disebut sebagai deferensisasi atau ketidaksamaan sosial; yaitu suatu pembedaan sosial secara horizontal dalam arti perbedaan-perbedaan tersebut tidak mengandung perbedaan secara bertingkat, melainkan berbeda saja satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut walaupun dikatakan tidak mengandung unsur perbedaan secara vertical, namun dalam masyarakat sering muncul penilaian yang memandang perbedaan tersebut dengan demensi vertical.

Misalnya pekerjaan, adalah bermacam-macam dan pada hakekatnya pekerjaan di dasarkan kepada nilai kemanusiaan yang sama yaitu bekerja untuk pemenuhan nafkah bagi diri dan keluarga. Jenis pekerjaan yang ada dapat berbeda, tetapi hakekatnya adalah sama dalam memenuhi nilai kemanusiaan tersebut. Timbul demensi vertical manakala orang membandingkan pekerjaaan tersebut dari beberapa aspek, seperti penghasilanya yang diperoleh, sifat pekerjaannya kasar atau halus; membutuhkan banyak tenaga atau banyak pikiran. Pandangan demikian akan menyebabkan pekerjaan sebagai unsure deferensiasi social memiliki demensi vertical. Contoh pekerjaaan sebagai Pegawai Negeri Sipil akan lebih dihargai dari pada pekerjaan sebagai petani ddemikian juga pekerjaan yang sama misalnya pegawai negeri akan dibedakan berdasarkan jabatan yang dimiliki. Misalnya staff akan berbeda penghargaanya dengan kepala bangunan.

{STRUKTUR SOSIAL BUDAYA, PRANATA SOSBUD,

DAN PROSES SOSIAL BUDAYA

Struktur Sosial Budaya

1. Struktur sosial: pola perilaku dari setiap individu masyarakat yang tersusun sebagai suatu sistem

2. Masyarakat mrp suatu sistem sosial budaya terdiri dari sejumlah orang yang berhubungan secara timbal balik melalui budaya tertentu.

3. Setiap individu mempunyai ciri dan kemampuan sendiri, perbedaan ini yang menyebabkan timbulnya perbedaan sosial.

4. Perbedaan sosial bersifat universal, ini berarti perbedaan sosial dimiliki setiap masyarakat dimanapun.

5. Perbedaan dalam masyarakat seringkali menunjukkan lapisan-lapisan yang bertingkat.

6. Lapisan yang bertingkat dalam masyarakat disebut Stratifikasi sosial

7. Ukuran yang digunakan untuk menggolongkan penduduk dalam lapisan-lapisan tertentu yaitu:

a) Ukuran kekayaan (kaya miskin, tuan tanah penyewa, )

b) Ukuran kekuasaan (penguasa/ dikuasai) penguasa punya wewenang lebih tinggi

c) Ukuran kehormatan (berpengarug / terpengaruh) ukuran ini ada di masyarakat tradisional(pemimpin informal)

d) ukuran ilmu pengetahuan (golongan cendekiawan/ rakyat awam)

PRANATA SOSIAL

1. Pranata Sosial adalah wadah yang memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi menurut pola perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku.-

2. Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur-prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan2 dasar teertentu dalam masyarakat.

KETERANGAN Contoh di skolah sbg lembaga sosial budaya untuk memperoleh pendidikan mempunyai aturan-aturan. setiap orang harus berperillaku sesuai dengan aturan-aturan tertentu sehingga proses pendidikan berjalan dg baik. Begitu juga di bank, mempunyai aturan sendiri, setiap karyawan hrs berperilaku sesuia dengan aturan yang berlaku.

MACAM-MACAM PRANATA SOSIAL

1. Pranata Ekonomi (memenuhi kebutuahan material) , bertani,industri, bank, koperasi dan sebagainya

2. Pranata Sosial/ memenuhi kebut. Sosial : perkawinan, keluarga, sistem kekerabatan, pengaturan keturunan.

3. Pranata politik/ jalan alat untuk mencapai tujuan bersama dlm hidup bermasyarakat. seperti sistem hukum, sistem kekuasaan, partai, wewenang, pemerintahan

4. Pranata pendidikan/memnuhi kebutuahn pendidikan, seperti PBM, sistem pengetahuan, aturan, kursus, pendidikan keluarga, ngaji.

5. Pranata kepercayaan dan agama/ memenuhi kebutuhan spiritual. seperti upacara semedi, tapa, zakat, infak, haji dan ibadah lainnya.

6. Pranata Kesenian/ memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan, seperti seni suara, seni lukis, seni patung, seni drama, dan sebagainya

KONTROL SOSIAL

1. Berfungsi sbg alat agar anggotanya taat dan patuh thd norma yang telah ditentukan.

2. Kontrol sosial dapat dilakukan melalui prefentif yaitu dengan meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keyakinan, thd kebenaran suatu norma.

Dapat juga dilakukan dg penanggulangan/ referensif dg jalan persuatif/ bujukan dan hukuman sanksi/ paksaan.

BEBERAPA PENGERTIAN

1. Enkulturasi adalah proses pengenalan norma yang berlaku di masyarakat.

2. Sosialisasi adalah; Proses pembelajaran terhadap norma-norma yang berlaku shg dapat berperan dan diakui oleh kelompok masyarakat.

3. Instutionalisasi: proses dimana norma dan perilaku sudah menjadi kebiasaan

4. Internalisasi: norma dan perilaku sudah menjadi bagian diri pribadi, dan sudah mendarah daging.

PROSES SOSIAL BUDAYA

Hubungan antarindividu yang saling mempengaruhi dlm hal pengetahuan, sikap dan perilaku disebut interaksi sosial

Interaksi sosial terjadi apabila tindakan atau perilaku sesorang dapat mempengaruhi, mengubah, memperbaiki, atau mendorong perilaku, pikiran, perasaan, emosi orang lain.

SIFAT INTERAKSI SOSIAL

1. Frekuensi interaksi makin sering makin kenal dan makin banyak pengaruhnya.

2. Keteraturannya interaksi, semakin teratur semakin jelas arah perubahan nya.

3. Ketersebaran interaksi, semakin banyak dan tersebar , semakin banyak yang dipengaruhi.

4. Keseimbangan interakasi, semakin seimbang posisi kedua belah pihak yang berinteraksi semakin besar pengaruhnya.

5. Langsung tidaknya interkasi, bila interaksi bersifat langsung kedua belah pihak bersifat aktif, maka pengaruhnya semakin besar.

INTERAKSI DAPAT MENIMBULKAN

A. Kerja sama (kooperation)

B. Persaingan (competition)

C. Pertikaian (conflik)

KOOPERATION

Kerja sama bisa terjadi bila individu atau kelompok mempunyai kesadaran akan tujuan yang sama, sehingga timbul aktivitas yang salling menunjang membantu untuk bersama-sama mencapai tujuan.

TIGA BENTUK KERJA SAMA

1. Bergaining yaitu pertukaran barang atau jasa

2. Cooptation yaitu penerimaan unsur-unsur baru sebagai salah satu cara untuk menghindari kegoncangan atau ketidak stabilan

3. Coalition yaitu penggabungan dua organisasi atau lebih yang mempunyia tujuan yang sama

ASIMILASI VS AKULTURASI

Asimilasi ; dua kelompok yang berbeda kebudayaannya saling berbaur menjadi satu kesatuan hingga menghasilkan kebudayaan baru yang berbeda dg kebudayaan aslinya.

Akulturasi: dua kelompok yang berbeda budaya saling bertemu dan melakukan kontak sosial yang intensif shg terjadi pembaharuan tanpa mengjhilangkan budaya aslinya

PERSAINGAN adalah proses sosial dimana dua individu atau kelompok berusaha mencari sesuatu yang menjadi pusat perhatian massyarakat tanpa kekerasan dan ancaman. contoh: dua orang siswa sama-sama memusatkan perhatiannya untuk memperoleh nilai IPS tertingi

KONFLIK

Pertentangan antar individu atau kelompok baik yang terlihat dg jelas /terbuka (perkelaian ) maupun yang tidak.

Akomodasi: usaha untuk mencegah, mengurangi, menghindari, dan menghentikan pertentangan

Akomodasi Dapat Dilakukan Dengan Cara:

1. Mediation: penyelesaian pertikaian dengan menggunakan pihak ketiga sebagai wasit yang netral.

2. Arbitration: penyelesaian pertikaian dengan menggunakan pihak ketiga yang statusnya lebih tinggi

3. Consiliation: mempertemukan pihak yang berselisih untuk mencapai suatu persetujuan bersama

4. Toleransi: saling menyadari untuk menghindari pertikaian

5. Stalemat: menyadari akan adanya kekuatan yang seimbang sehingga kalau diteruskan tidak akan ada yang menang dan yang kalah

6. Adjudication ; upaya penyelesaian perkara melalui pengadilan

Struktur sosial dipahami sebagai suatu bangunan sosial yang terdiri dari berbagai unsur pembentuk masyarakat. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain dan fungsional. Artinya kalau terjadi perubahan salah satu unsur, unsur yang lain akan mengalami perubahan juga. Unsur pembentuk masyarakat dapat berupa manusia atau individu yang ada sebagai anggota masyarakat, tempat tinggal atau suatu lingkungan kawasan yang menjadi tempat dimana masyarakat itu berada dan juga kebudayaan serta nilai dan norma yang mengatur kehidupan bersama tersebut.

Tiap unsur tersebut akan membentuk sistem atau pola hubungan yang menjadi roh dari struktur tersebut sekaligus menunjukan dinamika sosial yang terjadi didalamnya. Hubungan antar individu menghasilakan pola-pola hubungan yang ada, dalam bentuk status dan peran masing-masing. Hubungan anatara individu dan kelompok akan memunculkan proses sosialisasi dan juga pola interaksi yang ada. Sementara hubungan antara manusia dengan lingkungannya akan menimbulkan kebudayaan baik yang bersifat material maupun kebudayaan material. Pola hubungan-hubungan yang terjdi dari berbagai unsure kehidupan masyarakat ini akan menjadi ciri dari masyarakat mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan masyarakat lainnya.

Koentjaraningrat ( 1983:175) menjelaskan bahwa struktur sosial adalah kerangka yang dapat menggambarakan kaitan berbagai unsur dalam masyarakat. Sementara itu Soeleman B, Taneko (1983:12) menjelaskan bahwa struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yakni kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial.

Jika struktur sosial diibaratkan sebagai sebuah gedung bertingkat tiga, dan atap gedung tersebut adalah kebudayaan masyarakatnya, maka atap tersebut tidak saja sebagai atap bangunan gedung paling atas, melainkan juga atap bagi lantai dua dan laintai satu juga. Bangunan sosial ini dapat kokoh berdiri karena adanya pola hubungan sosial yang terjadi di dalamnya. Pola tersebut adalah hubungan individu dengan individu, hubungan individu dengan kelompok dan hubungan kelompok dengan kelompok yang ada. Pola hubungan ini akan berlangsung di bawah norma dan nilai yang mereka sepakati bersama. Misalnya dalam bangunan gedung di atas, pintu dan jendela memiliki fungsi yang berbeda, pintu dan jendela sebagai norma yang mengatur perilaku penghuninya. Jika dia memasuki ruangan tertentu dalam gedung tersebut mereka akan menggunakan pintu sebagai jalan mereka memasuki ruangan dan bukan melalui jendela, walaupun jendela dekat dengan posisi berdiri seseorang yang akan memasuki ruangan.dan mereka bisa memasuki ruangan melalui jendela, akan tetapi hal ini tidak lazim atau tidak sesuai dengan peraturan atau nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.

Demensi Struktural ada dua macam yaitu demensi vertical dan demensi horizontal. Demensi vertical akan melihat masyarakat secara bertingkat. Jika itu bangunan gedung di atas adalah tembok dengan lantai-lantainya dengan tangga sebagai penghubung antara lantai yang ada. Sebagai kenyataan sosial demensi vertical akan nampak pada stratifikasi sosial, kelas sosial dan status sosial dalam masyarakat. Apakah seseorang berada pada lapisan atas, menengah atau bawah dan apakan dia termasuk pada orang yang berada dikelas atas, menengah atau bawah adalah wujud dari demensi struktur sosial secara vertical.

Demensi horizontal biasa disebut sebagai deferensisasi atau ketidaksamaan sosial; yaitu suatu pembedaan sosial secara horizontal dalam arti perbedaan-perbedaan tersebut tidak mengandung perbedaan secara bertingkat, melainkan berbeda saja satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut walaupun dikatakan tidak mengandung unsur perbedaan secara vertical, namun dalam masyarakat sering muncul penilaian yang memandang perbedaan tersebut dengan demensi vertical.

Misalnya pekerjaan, adalah bermacam-macam dan pada hakekatnya pekerjaan di dasarkan kepada nilai kemanusiaan yang sama yaitu bekerja untuk pemenuhan nafkah bagi diri dan keluarga. Jenis pekerjaan yang ada dapat berbeda, tetapi hakekatnya adalah sama dalam memenuhi nilai kemanusiaan tersebut. Timbul demensi vertical manakala orang membandingkan pekerjaaan tersebut dari beberapa aspek, seperti penghasilanya yang diperoleh, sifat pekerjaannya kasar atau halus; membutuhkan banyak tenaga atau banyak pikiran. Pandangan demikian akan menyebabkan pekerjaan sebagai unsure deferensiasi social memiliki demensi vertical. Contoh pekerjaaan sebagai Pegawai Negeri Sipil akan lebih dihargai dari pada pekerjaan sebagai petani ddemikian juga pekerjaan yang sama misalnya pegawai negeri akan dibedakan berdasarkan jabatan yang dimiliki. Misalnya staff akan berbeda penghargaanya dengan kepala bangunan.

MASALAH NILAI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Sebelum melangkah lebih jauh kepada pembahasan mengenai topik diatas, marilah kita ambil sebuah perumpamaan. Seandainya pada satu saat seluruh kekayaan masyarakat dikumpulkan, lalu dibagikan kembali secara merata kepada warganya sehingga tidak ada lagi kesenjangan sosial, apakah yang akan terjadi pada 5 sampai 10 tahun kemudian? Masih samakah kekayaan dan tingkat kesejahteraan mereka? Kemungkinan sekali tidak, dan kemungkinan sekali kesenjangan sosial akan muncul kembali. Mengapa bisa demikian? Faktor-faktor apa yang menyebabkan hal ini?

Barangkali tidak satu jawabanpun yang bisa memberikan kepuasan atas pertanyaan itu, karena tidak ada seorangpun yang akan berani mencoba merealisasikan atau membuktikan pengandaian tersebut. Oleh karenanya, ulasan dalam bab ini juga bersifat “tidak pasti” atau “belum tentu”, dan membuka peluang yang sangat lebar untuk diperdebatkan atau diajukannya teori-teori dan alasan-alasan lain yang lebih masuk akal.

Salah satu faktor penyebab yang bisa dikemukakan adalah pandangan/filsafat hidup yang dianut oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Pengertian filsafat hidup disini meliputi sistem kepercayaan, tradisi-tradisi budaya yang turun-temurun, dan nilai-nilai sosio-psikologis, yang kesemuanya itu diyakini kebenarannya serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh misalnya ungkapan-ungkapan yang melekat pada sikap dan perilaku orang Jawa seperti alon-alon waton kelakon, urip mung mampir ngombe, mangan ora mangan asal kumpul, dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan tersebut sering dianggap sebagai penyebab rendahnya etos kerja, lambannya proses kemajuan, dan lemahnya semangat pengabdian aparat pemerintah, sehingga harus diubah menjadi nilai baru yang lebih dinamis seperti cepet nanging kelakon, urip iku ora mung mampir ngombe, kumpul ora kumpul asal mangan, dan sebagainya.

Tuntutan dunia modern memang menghendaki sikap hidup pragmatis, efektif, dan efisien. Tetapi benarkah ungkapan diatas menyebabkan segala sesuatu menjadi berbelit-belit, inefekfif dan inefisien? Untuk menjawabnya — dan agar tidak terjebak kepada anakronisme — harus dikembalikan pada zaman dan budaya pendukungnya.

Orang-orang Jawa tempo doeloe, adalah masyarakat yang menghendaki terjadinya keserasian dan keseimbangan (harmony) dalam segala aspek kehidupan, yang tercermin dalam konsep-konsep lingga-yoni, kawula-gusti, warangka-curiga, mikrokosmos-makrokosmos, dan sebagainya. Unsur yang satu membutuhkan unsur yang lain, sehingga jika salah satu unsurnya hilang, maka hilang pulalah keharmonisan komunitas. Konsep-konsep yang digunakan memang berupa lambang-lambang atau simbol-simbol (sesuai dengan sifat orang Jawa sebagai homo simbolicum), dan ungkapan diatas sebenarnya juga merupakan lambang atau simbol. Itulah sebabnya tidak bisa diartikan secara harfiah, melainkan harus dicari, apa maksud yang tersembunyi didalamnya.

Ungkapan mangan ora mangan asal kumpul bukan berarti bahwa orang Jawa adalah manusia-manusia yang tahan lapar, atau yang tidak mempunyai sepeser uangpun untuk membeli sejumput padi, ataupun manusia malas yang maunya hanya kumpul terus. Dalam ungkapan ini terdapat dua kata kunci, yakni (makan) dan kumpul. Makan adalah manifestasi dari nafsu biologis dan kepentingan perseorangan, sedang kumpul menunjukkan adanya kehidupan berkelompok atau bermasyarakat. Dengan demikian, ungkapan mangan ora mangan asal kumpul pada dasarnya ingin mengatakan bahwa orang Jawa merasa menjadi bagian integral dari masyarakatnya dan bersedia mendahulukan kepentingan kelompok/umum dari pada kepentingan individu.
mangan

Demikian pula terhadap ungkapan alon-alon waton kelakon. Adalah kurang tepat jika diartikan sebagai sikap hidup ragu-ragu, malas dan pesimis. Justru sebaliknya, hal itu menandakan manusia yang berpandangan optimis yang mampu melihat jauh kedepan, disamping merupakan anjuran untuk melakukan pekerjaan secara cermat agar selesai dengan baik. Orang Jawa dengan kekuatan spiritual atau kebatinannya yang didapatkan dari kegiatan-kegiatanasketis seperti semadi/tapa, pasa atau nglakoni (melaksanakan suatu syarat untuk suatu tujuan), selalu yakin akan kekuatan diri sendiri dan yakin pula bahwa apa yang dicita-citakan pasti akan terwujud. Jadi, mengapa harus tergesa-gesa kalau sesuatu yang dikejar itu pasti datang? Namun dalam hal ini harus diakui bahwa hanya orang-orang tertentu yang sudah mencapai taraf weruh sadurunge winarahlah yang bisa menghayati ungkapan alon-alon waton kelakon.

Adapun ungkapan urip mung mampir ngombe menunjukkan bahwa kehidupan manusia didunia begitu cepatnya, ibarat sepeminuman segelas air. Disini terkandung makna bahwa setelah selesai minum, masih ada kewajiban lain yang lebih penting. Oleh karenanya, selama proses minum berlangsung, betul-betul harus dapat dirasakan bahwa minum itu merupakan rahmat dari Yang Kuasa yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, sehingga dapat menjadi “bekal” untuk menunaikan kewajiban lainnya, yaitu agar tidak “kehausan” di tengah jalan.

A. Struktur Sosial dalam Ungkapan Kanca Wingking

Ungkapan lain yang bisa memberi kesan negatif adalah kanca wingking dan suwarga nunut neraka katut. Keduanya seolah-olah mendiskriminasikan wanita atau istri terhadap laki-laki atau suami. Interpretasi negatif akan mengatakan bahwa wanita hanya berfungsi sebagai pemuas kebutuhan biologis (seksual) atau sebagai pembantu rumah tangga. Tanpa pemahaman terhadap makna yang tersembunyi didalamnya, tuntutan emansipasi, persamaan hak, derajat dan kedudukan akan mengalir bagaikan air bah.

Apabila dikaji lebih lanjut, dalam ungkapan tersebut terdapat suatu struktur ; dan karena struktur itu berada ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat, maka biasa disebut sebagai struktur sosial. Pengertianstruktur sosial dapat diartikan sebagai susunan yang didalamnya menampakkan pembedaan fungsi masing-masing individu dalam masyarakat. Keluarga pada hakekatnya merupakan miniatur dari masyarakat, dan oleh karenanya dalam keluargapun terdapat struktur keluarga, yaitu susunan yang didalamnya menampakkan pembedaan fungsi, tugas, peran dan tanggung jawab, antar anggota keluarga, baik Ayah, Ibu, Anak, atau pembantu rumah tangga jika ada.

Dari pengertian tersebut sudah dapat dibayangkan bahwa ungkapan suwarga nunut neraka katut dan kanca wingking adalah dimaksudkan untuk menempatkan manusia pada peran, fungsi dan kedudukannya. Islam — yang ajaran-ajarannya banyak diserap oleh masyarakat Jawa kemudian digabungkan dengan pemikiran dalam ajaran Hindu Budha (sinkretisme) — mengajarkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, dan suami adalah pemimpin bagi istrinya. Sepanjang tidak bertentangan dengan agama, kesusilaan dan Undang-Undang, isri wajib mentaati perintah atau aturan suami. Jadi, arti suwarga nunut neraka katut
bagi istri adalah mematuhi suami, disamping kewajiban untuk memperingatkan bila suami kurang benar. Istri yang tidak mau menegur kesalahan suami, berarti ikut menanggung dosa yang diperbuat suaminya.

Begitu pula ungkapan kanca wingking. Sebagai “teman belakang”, para istri memegang peranan yang amat penting dalam sebuah keluarga. Jika mereka tidak kuat memegang peran sebagai kanca wingking, maka keluarga itupun tidak dapat diharapkan kelangsungan eksistensinya. Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa surga laki-laki terletak ditelapak kaki wanita. Semboyan bahwa suatu revolusi tidak akan berhasil tanpa andil kaum wanita-pun, tidaklah mengada-ada.

Hanya saja persoalannya, mengapa wanita dikatakan sebagai kanca wingking, bukan kanca ngajengsaru, ora lumrah, atau ora ilok.
(teman depan)? Hal ini juga ada alasannya sendiri. Barangkali tidak seorangpun yang menyangkal bahwa masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai dan norma-norma luhur yang dijunjung tinggi. Perbuatan yang melanggar atau tidak sesuai dengan nilai atau moral itu, dikatakan sebagai

Kedudukan wanita Jawa terhadap lawan jenisnya sebagaimana kedudukan wanita terhadap pria pada umumnya — secara kodrati (bedakan dengan kedudukan sosial politik) — adalah lebih rendah. Dengan demikian, adalah tidak patut apabila wanita yang memimpin suatu keluarga. Adalah tidak lumrah apabila wanita mencarikan nafkah bagi suaminya dan menempatkannya sebagai rewang (pembantu). Dan adalah tidak ilok (tidak boleh dilakukan) apabila seorang istri berani membantah suaminya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, perlukah diadakan penyeragaman fungsi, peran, kedudukan dan tanggungjawab antar individu? Sebelum menentukan jawabannya, ada baiknya disimak ilustrasi berikut. Sebuah celana panjang dan sebuah baju adalah dua perlengkapan sandang yang memiliki fungsi, kedudukan dan tanggungjawab masing-masing. Apa yang terjadi jika celana panjang harus berperan dan berfungsi sebagai baju ; apa pula yang terjadi jika baju harus memikul tanggung jawab celana panjang sebagai penutup aurat bawah manusia? Tentu kejadiannya sangat lucu, aneh, kacau dan akhirnya justru memporakporandakan tatanan yang telah ada.

Begitu juga dalam struktur sosial atau struktur keluarga. Pertukaran peran, kedudukan, fungsi dan tanggungjawab yang telah “ditakdirkan” secara alamiah, akan mengakibatkan disharmoni, ketidakserasian dan kekacauan sosial. Penyeragaman hanya mungkin dilakukan terhadap bobot hak dan kewajibannya. Dalam ilustrasi diatas, penyeragaman hanya mungkin diterapkan terhadap bahan, gaya atau model pakaiannya.

Itulah sisi-sisi positif dari ungkapan-ungkapan lama yang saat ini sering menjadi kambing hitam bagi rendahnya etos kerja, lambannya proses kemajuan, dan lemahnya semangat pengabdian aparat pemerintah. Yang pasti, meskipun badai perubahan selalu menerpa, nilai-nilai kebajikan dan moralitas tidak akan pernah berubah atau luntur menjadi nilai-nilai kebiadaban. Ibaratnya, tanpa digosokpun, sebongkah permata akan tetap memancarkan cahaya keemasan. Oleh karena itu, manakala terjadi suatu ketidakberesan, maka harus segera dilakukan introspeksi, siapakah sebenarnya sumber ketidakberesan itu, sistem nilainya ataukah kesalahan manusia dalam menafsirkan dan menerapkannya?

B. Nilai Budaya dan Kepatuhan Hukum

Struktur sosial seperti terurai diatas, pertama kali dikemukakan oleh antropolog Inggris Radcliff Brown. Menurutnya, struktur sosial yang disamakan dengan sistem organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan ini, merupakan hubungan-hubungan antar individu dalam masyarakat.

Sistem organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan adalah salah satu dari 7 (tujuh) unsur kebudayaan yang universal, selain bahasa, sistem pengetahuan, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan upacara keagamaan, serta kesenian. Adapun materi yang terkandung dalam sistem organisasi kemasyarakatan itu antara lain adalah :

    *

            1. Sistem kekerabatan, yaitu hubungan yang terjadi antar individu yang didasarkan pada keturunannya (darah). Kekerabatan berdasarkan “darah” ini terdiri dari 2 (dua) macam, yakni bilateral dan unilateral.

    *

            2. Lembaga kemasyarakatan atau pranata sosial.

    *

            3. Hukum bagi masyarakat pendukung kebudayaan. Masyarakat dalam konteks ini adalah masyarakat sederhana atau tradisional, sehingga hukumnyapun bukan hukum positif yang berlaku hic dan nunc (disini dan sekarang), melainkan hukum adat yang berlaku secara turun temurun.

Pola kehidupan tradisional masyarakat sederhana bisa ditinjau dari sudut pandang pola pikirnya. Pola pikir yang kosmologis sangat mempengaruhi masyarakat dalam berbuat atau bertindak hukum. Kosmologis berarti bahwa alam semesta dianggap memiliki kekuatan-kekuatan yang mampu mempengaruhi manusia, bahkan mengubah nasibnya. Semua peristiwa dan kejadian dalam alam nyata ini adalah takdir alamiah atau kehendak sejarah. Manusia tidak berperan sama sekali, pasif dan responsif. Pandangan seperti ini disebut kosmosentrisme, sedang kebalikannya, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa manusia adalah subyek dan penyebab utama dari segala keadaan di dunia dengan segala akibatnya, disebut Antroposentrisme. Dengan kata lain pandangan antroposentrisme menegaskan bahwa manusia adalah pembuat sejarah (baca juga Bab I sub judul “Kosmosentris dan Antroposentris”).

Alam semesta dengan kekuatan gaibnya, telah memaksa manusia untuk berusaha mendapatkan keselamatan dan kemakmuran dari padanya, dengan jalan membakar kemenyan, melaksanakan labuhan dan sebagainya. Kepercayaan yang bersumber dari kontemplasi atau pengalaman kebatinan ini secara tidak langsung akan membawa pengaruh kepada perbuatan-perbuatan lahiriah. Bisa juga dikatakan, kelakuan riil seseorang adalah refleksi dari keyakinan batinnya. Dari sini dapat ditarik suatu analogi, apabila masyarakat tidak berani melanggar kepercayaannya, maka merekapun akan sulit untuk tidak mematuhi hukum adatnya.

Adanya kepercayaan yang amat kuat hingga mampu mengendalikan sifat, perilaku dan perbuatan para pemeluknya, menunjukkan bahwa masyarakat (dalam konteks ini masyarakat Jawa) sangat mementingkan kehidupan rohaninya dibanding kepentingan jasmani/ragawi. Kebudayaan rohani (mental spiritual), sering dipandang lebih rendah atau lebih terbelakang dibanding kebudayaan fisik ; namun ukuran tinggi rendahnya suatu kebudayaan sangatlah sulit ditentukan mengingat sifatnya yang relatif. Jika dilihat dari segi kemajuan teknologi yang bisa secara langsung dilihat dengan mata, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya fisik lebih unggul. Sebaliknya jika dilihat dari segi moralitas dan ketenangan batin, kecanggihan yang beraneka warna belum tentu bisa dikatakan sebagai kemajuan peradaban.

Salah satu contoh, promesquitet (kehidupan seksual yang sangat bebas dimasa lampau ; semacam kumpul kebo sekarang) adalah “penyelewengan” yang bisa dimaklumi mengingat pada masa itu belum dikenal nilai-nilai keagamaan dan peradaban yang luhur. Akan tetapi samen leven (hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah) yang sangat populer saat ini adalah suatu kemunduran, mengingat manusia sekarang telah mengalami perkembangan kebudayaan dan keagamaan yang sangat tinggi, yang dengan keduanya itu mestinya manusia semakin beradab, bukan semakin biadab.

Dari uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa dalam suatu kebudayaan terkandung nilai-nilai. Nilai-nilai yang dikaitkan dengan pola pikir sering disebut sebagai nilai budaya, dimana nilai atau harga budaya inipun bersifat relatif tergantung kepada orang yang menghargainya. Nilai budaya merupakan konsepsi abstrak sebagian besar anggota masyarakat tentang sesuatu yang berharga dan penting, atau sesuatu yang tidak berharga dan tidak penting dalam hidup sehari-hari. Perwujudan nilai-nilai budaya ini bisa berupa aturan atau norma-norma, hukum adat, adat istiadat, sopan santun, tata susila dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan hukum adat, sistem kekerabatan Jawa sebagaimana disinggung diatas, memiliki hubungan yang erat. Masyarakat Jawa — menurut para ahli — menganut pola kekerabatan bilateralparental yang berarti hubungan-hubungan kerabat ditelusuri dari 2 (dua) garis, yaitu garis Ayah (laki-laki atau patrilineal) dan garis Ibu (perempuan atau matrilineal). Namun benarkah demikian, marilah kita tengok sistem pembagian harta peninggalan.
atau

Hukum waris adat Jawa menetapkan bahwa bagian antara laki-laki dan perempuan adalah sepikul segendongan, dimana sepikul sama atau hampir sama dengan segendong (sistem ini kemungkinan besar mengadopsi dari Hukum Waris Islam). Fakta ini secara langsung mengajukan pertanyaan, benarkah sistem kekerabatan Jawa adalah parental, karena jika memang benar demikian, semestinya antara laki-laki dan perempuan tidak ada pembedaan bagian harta waris. Dengan kata lain, hukum harus dipertimbangkan secara parental pula.

Kupasan ini tidak dimaksudkan sebagai analisa terhadap kasus-kasus hukum dalam masyarakat, oleh sebab itu tidak digunakan pendekatan dan metode-metode yuridis. Pemahaman dan pemecahan masalah diatas haruslah dikembalikan lagi pada kerangka pemikiran tentang struktur sosial, dimana wanita adalah kanca wingkingnya pria, sehingga mau tidak mau wanita harus “berbeda” dengan pria. Tidaklah mungkin kodrat wanita dan pria akan sama, dan apabila hal itu dipaksakan, berarti telah terjadi pemaksaan terhadap hukum alam (Sunatullah).

Hukum waris adat dan hukum-hukum adat lainnya selalu dipatuhi oleh warga masyarakat karena adanya sistem kepercayaan yang amat berakar dalam hati, hingga mampu mengendalikan perilaku dan perbuatan para pemeluknya dari sifat-sifat negatif. Disamping itu juga karena secara material dan formal, hukum-hukum adat tadi berasal dari masyarakat itu sendiri. Dengan lain perkataan, hukum adat merupakan kehendak kelompok. Dan kepatuhan hukum itu akan tetap ada selama kehendak kelompok diakui dan di junjung tinggi bersama, karena kehendak kelompok inilah yang menyebabkan timbul dan terpeliharanya warga masyarakat.
kewajiban moral

Meskipun demikian, sesuai dengan sifat hukum adat yang dinamis dan fleksibel, maka kehendak kelompok itupun bersifat dinamis pula, dalam arti bisa mengalami perubahan-perubahan. Dalam skala yang lebih luas, hukum adat dan bahkan kebudayaan, kerapkali berubah-ubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan masyarakatnya, baik dalam hal pola pikir, kebiasaan-kebiasaan, maupun pemahamannya terhadap sistem nilai tertentu. Yang jelas disini adalah bahwa perubahan kehendak kelompok, perubahan hukum adat, dan perubahan kebudayaan, selalu mengiringi perubahan apapun yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Perubahan yang menimpa hukum adat, secara otomatis berarti pula terjadinya perubahan sosial (social change). Hal ini disebabkan karena perubahan hukum adat dialami oleh seluruh anggota masyarakat (jadi tidak individuil), serta menyangkut nilai-nilai dan fungsi masyarakat. Tanpa dipenuhinya kedua syarat ini, suatu keadaan yang menyimpang dari kebiasaan tidak bisa dikatakan sebagai perubahan, melainkan hanya dinamika.

Dalam kaitannya dengan kesadaran dan kepatuhan hukum, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara hukum adat dengan hukum positif. Kesadaran masyarakat adat terhadap norma-norma baik dan buruk adalah secara sukarela sebagai akibat adanya kewajiban moral tadi, sedangkan kesadaran hukum manusia modern adalah karena adanya sifat memaksa dari hukum tersebut. Dengan demikian, kepatuhan hukum masyarakat modern-pun bukan karena di junjung tingginya aturan-aturan hukum, tetapi lebih disebabkan oleh ketakutan terhadap sanksi atau ancaman yang diberikan oleh hukum.

Pertanyaannya sekarang adalah, mana yang lebih baik diantara keduanya, dan sistem nilai manakah yang seharusnya kita kembangkan untuk menciptakan kepatuhan hukum masya-rakat? Barangkali semua pihak bisa menyetujui usul bahwa hukum pemaksa (dwang) tidaklah diperlukan bila sudah ada ketertiban dan keharmonisan. Hukum pemaksa tidak mungkin akan lahir seandainya semua warga masyarakat, baik dalam hubungan kekeluargaan maupun hubungan yang lebih luas, berusaha mempertahankan kewajiban moralnya terhadap hukum adat dan ajaran-ajaran lain yang mengandung ungkapan kebajikan.

Oleh karena itu, hukum adat dan nilai-nilai tradisional wajib diperhatikan, diperkembangkan dan dilestarikan, agar kewajiban moral tetap melekat dalam hati dan jiwa seluruh warga masyarakat, meskipun hukum nasional hendak dan atau sudah diberlakukan bagi mereka. Keuntungan yang pasti adalah bahwa hukum adat akan dapat membimbing dan mengarahkan masyarakat agar mau dengan sukarela mematuhi dan melaksanakan hukum yang berlaku bagi mereka dengan sebaik-baiknya.
Interaksi Sosial sebagai Faktor Utama dalam Kehidupan Sosial

Hubungan antar manusia, ataupun relasi-relasi sosial menentukan struktur dari masyarakatnya. Hubungan antar manusia atau relasi-relasi sosial ini di dasarkan kepada komunikasi. Karenanya Komunikasi merupakan dasar dari existensi suatu masyarakat. Hubungan antar manusia atau relasi-relasi sosial, hubungan satu dengan yang lain warga-warga suatu masyarakat, baik dalam bentuk individu atau perorangan maupun dengan kelompok-kelompok dan antar kelompok manusia itu sendiri, mewujudkan segi dinamikanya perubahan dan perkembangan masyarakat. Apabila kita lihat komunikasi ataupun hubungan tersebut sebelum mempunyai bentukbentuknya yang konkrit, yang sesuai dengan nilai-nilai sosial di dalam suatu masyarakat, ia mengalami suatu proses terlebih dahulu. Proses-proses inilah yang dimaksudkan dan disebut sebagai proses sosial.

Sehingga Gillin & Gillin mengatakan bahwa: Proses-proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut, atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Dilihat dari sudut inilah, komunikasi itu dapat di Pandang sebagai sistem dalam suatu masyarakat, maupun sebagai proses sosial. Dalam komunikasi, manusia saling pengaruh-mempengaruhi timbal balik sehingga terbentuklah pengalaman ataupun pengetahuan tentang pengalaman masing-masing yang sama. Karenanya Komunikasi menjadi dasar daripada kehidupan sosial ia, ataupun proses sosial tersebut.
Kesadaran dalam berkomunikasi di antara warga-warga suatu masyarakat, menyebabkan suatu masyarakat dapat dipertahankan sebagai suatu kesatuan. Karenanya pula dalam setiap masyarakat terbentuk apa yang di namakan suatu sistem komunikasi. Sistem ini terdiri dari lambang-lambang yang diberi arti dan karenanya mempunyai arti-arti khusus oleh setiap masyarakat. Karena kelangsungan kesatuannya dengan jalan komunikasi itu, setiap masyarakat dapat. membentuk kebudayaannya, berdasarkan sistem komunikasinya masing-masing.
Dalam masyarakat yang modern, arti komunikasi menjadi lebih penting lagi, karena pada umumnya masyarakat yang modern bentuknya makin bertarnbah rasionil dan lebih di dasarkan pada lambang-lambang yang makin abstrak. Bentuk umum proses-proses sosial adalah interaksi sosial, dan karena bentuk-bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dairi interaksi, maka interaksi sosial yang dapat dinamakan proses sosial itu sendiri. Interaksi sosial adalah kunci semua kehidupan sosial, tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

Gillin dan Gillin mengajukan dua syarat yang harus di penuhi agar suatu interaksi sosial itu mungkin terjadi, yaitu:

   1. Adanya kontak sosial (social contact)
   2. Adanya komunikasi.

Dengan demikian kontak merupakan tahap pertama terjadinya suatu interaksi sosial. Dapat di katakan bahwa urituk terjadinya suatu kontak, tidak perlu harus terjadi secara badaniah seperti arti semula kata kontak itu sendiri yang secara harfiah berarti “bersama-sama menyentuh”. Manusia sebagai individu dapat mengadakan kontak tanpa menyentuhnya tetapi sebagai makhluk sensoris dapat melakukannya dengan berkomunikasi. Komunikasi sosial ataupun “face-to face” communication, interpersonal communication, juga yang melalui media. Apalagi kemajuan teknologi komunikasi telah demikian pesatnya.

Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu tidak hanya antara individu dan individu sebagai bentuk pertamanya saja, tetapi juga dalam bentuk kedua, antara individu dan suatu kelompok manusia atau sebaliknya. Bentuk ketiga, antara sesuatu kelompok manusia dengan kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.
Suatu kontak sosial tidak hanya tergantung Bari tindakan ataupun kegiatan saja, tetapi juga dari tanggapan atau response reaksi, juga feedback terhadap tindakan atau kegiatan tersebut.

Kontak sosial dapat bersifat positif, apabila mengarah kepada suatu kerjasama (cooperation). Dan dapat bersifat negatif apabila mengarah kepada suatu pertentangan (conflict), atau bahkan lama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Blog Pinger Free