SubmitYahoo ACUTELY ILL INFECTED FEBRILE PATIENT ~ Febri Irawanto - ilmu kita

Google Plus

Senin, 12 Desember 2011

ACUTELY ILL INFECTED FEBRILE PATIENT


ACUTELY ILL INFECTED FEBRILE PATIENT

1.  PERTIMBANGAN UMUM


1.1  Penampilan Penderita
Penilaian segera keadaan umum penderita memberikan informasi yang berharga, walaupun anamnesis penderita belum diperoleh dan pemeriksaan fisik belum dilakukan. Perasaan perseptif subjektif dokter bahwa pasiennya septik atau toksis seringkali terbukti secara akurat. Penderita  febris yang tampak agitasi dan ansietas dapat merupakan petanda penyakitnya kritis.

 

1.1.2 Anamnesis        

Untuk memperoleh informasi diperlukan pertanyaan mendetail tentang onset dan lamanya gejala, serta tentang perubahan dalam beratnya atau kecepatan progresifitas penyakitnya. Gejala yang tampak seringkali non-spesifik. Faktor host dan keadaan komorbid dapat meningkatkan resiko infeksi oleh organisme tertentu atau keadaan yang lebih fulminan dari biasa. Tidak berfungsinya limpa, alkoholisme dengan penyakit hati yang nyata, pengguna obat-obatan intavena, infeksi HIV, diabetes, keganasan, dan kemoterapi, semuanya ini mempredisposisi terjadinya infeksi spesifik dan sering lebih berat. Kepada penderita harus ditanyakan tentang faktor-faktor yang dapat membantu identifikasi nidus infeksi invasif, seperti ; ISPA bagian atas yang baru terjadi, influenza, atau varicella ; trauma sebelumnya ; terganggunya barier kulit akibat laserasi, luka bakar, pembedahan, atau dekubitus; dan adanya benda asing seperti nasal packing  pasca rhinoplasti, kontrasepsi barrier, tampon, fistula arteriovenosa, atau sendi prostetik.      

            Riwayat perjalanan, kontak dengan hewan peliharaan/hewan lain, atau akivitas yang memungkinkan paparan dengan kutu, dapat mengarahkan diagnosis.
Asupan makanan belakangan ini, penggunaan obat-obatan, kontak sosial dengan orang sakit, riwayat vaksinasi, dan riwayat menstruasi, dapat relevan.
Review dari sistem-sistem harus berpusat pada tanda-tanda neurologis atau perubahan sensorium, ruam atau lesi kulit, dan nyeri fokal, serta juga harus mencakup gejala-gejala respirasi, gastrointestinal, dan genitourinarius. Khususnya penting untuk menentukan lamanya dan progresifitas gejala untuk menilai langkah dan urgensi proses tersebut.

1.1.3         Pemeriksaan Fisik     

Pemeriksaan fisik lengkap harus dikerjakan, dengan perhatian khusus pada beberapa daerah yang kadangkala terlewati pada pemeriksaan rutin. Penilaian keadaan umum penderita dan tanda-tanda vital, pemeriksaan kulit dan jaringan lunak,  serta evaluasi neurologik memiliki kepentingan khusus. Penderita dapat tampak gelisah dan agitasi, atau lethargic dan apatis. Demam biasanya ada ; namun pada lansia dan penderita yang compromised,  seperti penderita uremia atau sirosis, dan penderita yang mendapatkan glukokortikoid atau NSAID, dapat afebris walaupun infeksinya serius. Pengukuran tekanan darah, denyut jantung, dan frekuensi pernafasan, membantu menentukan derajat toleransi hemodinamik dan metabolic. Jalan nafas penderita harus dievaluasi untuk menyingkirkan resiko obstruksi dari infeksi orofaring yang invasif.

            Diagnosis etiologik dapat menjadi jelas dalam konteks pemeriksaan kulit yang teliti. Ruam petekhiae secara tipikal terlihat pada meningokoksemia atau Rocky Mountain spotted fever (RMSF); eritroderma  biasanya karena toxic shock syndrome (TSS) dan demam akibat obat.
            Pemeriksaan jaringan lunak dan otot amat penting. Daerah yang eritem atau kehitaman, edema, dan nyeri, dapat menunjukkan necrotizing fasciitis, miositis, atau mionekrosis. Pemeriksaan neurologis harus mencakup penilaian status mental yang hati-hati terhadap tanda-tanda ensefalopati dini. Harus dicari kaku kuduk atau penemuan neurologis fokal. Penemuan fokal, menurunnya status mental, atau edema papil, harus dievaluasi dengan pencitraan otak sebelum pungsi lumbal dimana pada keadaan ini dapat terjadi herniasi.


2.  PRESENTASI  SPESIFIK

Pada kebanyakan infeksi, terdapat saat untuk evaluasi  hati-hati, uji diagnostik, dan konsultasi dengan dokter lain. Namun infeksi-infeksi yang dibahas di bawah ini menurut presentasi klinisnya  dapat dengan cepat berakibat buruk, dan pengenalan yang cepat dapat bersifat life-saving.

2.1  SEPSIS TANPA FOKUS INFEKSI PRIMER YANG JELAS

Penderita pada awalnya mengalami masa prodromal yang singkat dengan gejala-gejala dan tanda-tanda non-spesifik yang progresif dengan cepat menjadi keadaan hemodinamik tidak stabil dengan adanya hipotensi, takikardi, takipnea, atau distress pernafasan. Penderita dapat menunjukkan perubahan status mental. DIC dengan bukti klinis diatesis hemoragis merupakan tanda prognostik buruk.

2.1.1  Syok Septik 
Penderita dengan bakteriemia yang menjadi syok septik dapat memiliki tempat infeksi primer (seperti : pneumonia, pielonefritis, atau kolangitis) yang pada awalnya tidak tampak. Penderita lansia dengan kondisi komorbid, penderita compromised dengan adanya keganasan dan netropenia, atau penderita yang baru mengalami operasi atau dirawat di RS merupakan penderita yang resikonya bertambah. Bakteriemia Gram negatif dengan organisme seperti Pseudomonas aeruginosa, Aeromonas hydrophila, atau Escherichia coli dan infeksi Gram positif oleh organisme seperti Staphylococcus aureus atau Streptococcus grup A dapat bermanifestasi sebagai hipotensi yang sulit diatasi dan kegagalan multi organ. Terapi biasanya dimulai secara empiris berdasarkan presentasi klinisnya.


2.1.2  Infeksi masif pada penderita asplenik
Penderita tanpa fungsi limpa beresiko mengalami sepsis bakterial yang masif. Penderita asplenik jatuh sepsis 600 kali populasi pada umumnya; 50-70% kasus terjadi dalam 2 tahun pertama setelah splenektomi, dengan mortalitas sampai 80%. Namun pada individu asplenik, meningkatnya resiko untuk sepsis masif berlanjut seumur hidup. Pada asplenia, bakteri encapsulated menjadi penyebab sebagian besar infeksi, dan orang dewasa memiliki resiko yang lebih rendah dibandingkan anak-anak karena mereka lebih mungkin telah mempunyai antibody terhadap organisme ini. Infeksi Infeksi Streptococcus pneumonia merupakan yang tersering, tetapi resiko untuk infeksi oleh Haemophilus influenzae atau Neisseria meningitidis juga tinggi. Manifestasi klinis yang berat oleh infeksi E.coli, S.aureus, Streptococcus grup B, P.aeruginosa, Capnocytophaga, Babesia, dan Plasmodium. 

2.1.2.1  Babesiosis
Riwayat baru melakukan perjalanan ke daerah endemis harus meningkatkan kemungkinan infeksi Babesia. Antara 1 sampai 4 minggu setelah gigitan kutu, penderita menggigil, kelelahan, anoreksia, mialgia, arthralgia, mual, dan sakit kepala; ekimosis dan petekhiae kadang-kadang terlihat. Kutu tsb. tersering mentranmisikan Babesia, Ixodes scapularis, juga mentransmisikan Borrelia burgdorferi (agen penyakit Lyme), dan Erlichia, serta ko-infeksi dapat terjadi , mengakibatkan penyakit yang lebih parah. Infeksi oleh spesies Eropa Babesia divergens lebih sering fulminan dibandingkan spesies Amerika B.microti, menyebabkan sindrom demam dengan hemolisis, ikterus, hemoglobinemia, dan gagal ginjal, serta mortalitasnya lebih dari 50%. Babesiosis yang berat khususnya sering pada penderita asplenik tetapi juga dapat terjadi pada penderita dengan fungsi limpa yang normal.

2.1.2.2              Sindroma sepsis lainnya
Tularemia dijumpai di Amerika, secara primer di Arkansas, Oklahoma, & Missouri, berhubungan dengan kontak terhadap kelinci, kutu, dan lalat tabanid. Bentuk tifoidal yang tidak lazim dapat berhubungan dengan syok septic Gram (-) dan mortalitasnya lebih dari 30%. Di Amerika, wabah ditemukan setelah kontak dengan tupai tanah, anjing liar. Bentuk septiknya jarang  dan berhubungan dengan syok, kegagalan multi organ, dan angka mortalitas 30%. Infeksi yang jarang ini harus dipertimbangkan sesuai latar belakang epidemiologiknya.

 

2.2   SEPSIS DENGAN MANIFESTASI KULIT

Ruam makulopapular dapat menggambarkan penyakit meningococcal dini atau penyakit riketsia tetapi biasanya berhubungan dengan infeksi yang non-emergent. Eksantema biasanya karena virus.






2.2.1        Petekhiae
Ruam petekhiae yang disebabkan virus jarang berhubungan dengan hipotensi atau keadaan toksik, walaupun campak yang berat dapat menjadi perkecualian. Pada keadaan lain, ruam petekhiae memerlukan perhatian segera.


2.2.2        Meningococcemia
Hampir tiga per empat penderita dengan bakteriemia karena infeksi N.meningitidis mengalami ruam. Meningococcemia paling sering mengenai anak kecil (6 bulan-5 tahun, sering rawat jalan). Namun, kasus sporadik dan KLB terjadi di sekolah-sekolah (sekolah menengah sampai universitas) dan barak tentara. 10-20% dari semua kasus bersifat fulminan, dengan syok, DIC, dan kegagalan multi organ. 50-60% penderita meninggal, dan yang bertahan sering memerlukan debridemen ekstensif atau amputasi ekstremitas yang gangren. Penderita dapat demam, sakit kepala, mual, muntah, mialgia, perubahan status mental, dan meningismus. Namun, bentuk penyakit yang cepat progresif tidak biasanya berhubungan dengan meningitis. Ruam awalnya merah muda, memucat, dan makulopapular, terlihat di badan dan ekstremitas, tetapi lalu menjadi hemoragis, membentuk petekhiae. Petekhiae pertama terlihat di tumit, pergelangan tangan, aksila, permukaan mukosa, konjungtiva palpebra & bulbi, dengan penyebaran selanjutnya ke  ekstremitas bawah dan badan. Petekhiae berkelompok dapat terlihat pada tempat-tempat tekanan mis. di mana manset tekanan darah dikembangkan. Pada meningococcemia yang progresif cepat, ruam petekhiae cepat menjadi purpura dan penderita mengalami DIC. Hipotensi dengan petekhiae kurang dari 12 jam berhubungan dengan mortalitas yang bermakna. Mortalitas dapat lebih dari 90% pada penderita tanpa meningitis, yang mengalami ruam, hipotensi, hitung leukosit  dan LED normal/rendah. Prognosis yang lebih baik telah dilaporkan pada kasus dimana antibiotik sudah diberikan oleh dokter yang pertama menangani sebelum penderita tiba di RS. Ini menunjukkan terapi dini dapat bersifat life-saving.


2.2.3        Rocky Mountain spotted fever
RMSF terjadi Amerika. Sering terdapat riwayat gigitan kutu, namun bila tidak ada, riwayat perjalanan atau aktivitas outdoor (camping di daerah tempat kutu tsb.) dapat diperoleh. RMSF disebabkan oleh Rickettsia rickettsii. Dalam 3 hari pertama, terdapat sakit kepala, demam, malaise, mialgia, mual, muntah, dan anoreksia. Sejak hari ke-3, pada ½  penderitanya terdapat kelainan kulit. Awalnya timbul makula pucat pada pergelangan tangan dan siku, lalu menyebar sepanjang tungkai bawah dan badan. Lesi menjadi hemoragik dan sering berupa petekhiae. Sealanjutnya ruam menyebar ke telapak tangan dan telapak kaki. Penyebaran sentripetal merupakan gambaran klasik RMSF. Namun pada 10-15% penderitanya tidak pernah timbul ruam. Penderita dapat hipotensif, dan mengalami edema paru non kardiogenik, konfusi, letargi, dan ensefalitis yang berlanjut menjadi koma. LCS mengandung 10-100 sel/µL, dengan sel mononuclear predominan. Kadar glukosa LCS sering normal; kadar protein dapat sedikit meningkat. Cedera pada ginjal dan hati, serta perdarahan sekunder akibat kerusakan pembuluh darah pernah dilaporkan. Infeksi yang tidak diobati memiliki angka mortalitas 30 %.

2.2.4        Purpura Fulminan
Merupakan manifestasi kulit DIC dan tampak sebagai daerah ekimosis luas dan bulla hemoragis. Progresi petekhiae menjadi purpura dan ekimosis berhubungan dengan gagal jantung kongestif, syok septic, gagal ginjal akut, asidosis, hipoksia, hipotensi, dan kematian. Purpura fulminan secara primer berhubungan dengan N. meningitidis, tetapi pada penderita pasca splenektomi dilaporkan berhubungan dengan S. pneumoniae dan H. influenzae.

2.2.5        Ektima gangrenosum
Syok septik disebabkan oleh P. aeruginosa dan A. hydrophila dapat berhubungan dengan ektima gangrenosum; vesikel-vesikel hemoragis dikelilingi lingkaran eritema dengan nekrosis sentral dan ulserasi. Bakteriemi Gram negatif ini paling sering mengenai penderita dengan netropenia, luka bakar luas, hipogammaglobulinemia.






2.2.6        Infeksi gawat lainnya yang berhubungan dengan ruam
Infeksi bakteriemia Vibrio vulnificus dan Vibrio non-kolera lainnya dapat menyebabkan lesi kulit fokal dan sepsis yang parah pada penderita dengan penyakit hati. Setelah memakan kerang yang terkontaminasi, timbul malaise, menggigil, demam, dan hipotensi dengan onset mendadak. Pada penderita timbul lesi kulit bulosa atau hemoragis, biasanya pada ekstremitas bawah, dan 75 % penderitanya mengeluh nyeri pada tungkai. Angka mortalitas dapat mencapai 50 %. Capnocytophaga canimorsus dapat menyebabkan syok septic pada penderita asplenik. Infeksi oleh batang gram negatif ini secara tipikal timbul setelah gigitan anjing, berupa demam, menggigil, mialgia, muntah, diare, dispnu, konvulsi, dan sakit kepala. Penemuan klinis dapat berupa eksantema atau eritema multiforme, bintik-bintik sianosis atau sianosis perifer, ptekie, dan ekimosis. Sekitar 30 % penderitanya dengan bentuk fulminan ini meninggal akibat sepsis yang parah dan DIC, dan yang bertahan hidup dapat memerlukan amputasi untuk mengobati gangrennya.

2.2.7        Eritroderma
Toksik syok sindrom biasanya dihubungkan dengan eritroderma. Penderita mempunyai gejala : demam, malaise, mialgia, nausea, vomitus, diare, dan konfusi. Ruam ini merupakan tipe seperti terbakar matahari, yang dapat tidak kentara dan tidak lengkap, tetapi biasanya difus, dan ditemukan di wajah, badan, dan ekstremitas. Eritroderma dengan deskwamasi setelah 1-2 minggu, lebih sering berhubungan dengan TSS akibat Stafilokokus dibanding dengan yang berhubungan dengan Streptokokus. Hipotensi terjadi cepat setelah onset gejala, seringkali dalam hitungan jam. Tampak kegagalan multiorgan. Seringkali tidak ada indikasi untuk infeksi fokal primer. Kolonisasi dari pada infeksi yang tersembunyi di vagina atau luka post operatif tipikal untuk TSS Stafilokokal dan area mukosa tampak hiperemis tetapi tidak terinfeksi. Gagal ginjal dini dapat membedakan sindroma ini dengan sindroma syok septic lainnya. Evaluasi klinis berperan dalam menegakkan diagnosis karena TSS didefinisikan oleh criteria klinis, demam, hipotensi, dan keterlibatan multiorgan. Angka mortalitas 5 % untuk TSS yang berhubungan dengan menstruasi, 10-15 % untuk TSS yang nonmenstrual, 30-70 % untuk TSS Streptokokal.


2.3   SEPSIS DENGAN FOKUS PRIMER JARINGAN LUNAK/OTOT

2.3.1  Nekrotizing Fasciitis
Infeksi ini dapat meningkat pada tempat dimana ada trauma minimal atau incisi post operatif dan dapat juga berhubungan dengan varicela yang baru saja terjadi, saat partus atau regangan otot. Penyebab paling sering adalah Streptokokus grup A saja dan campuran flora fakultatif dan anaerobic. DM, penyakit vascular perifer, dan pengguna obat intravena merupakan factor resiko yang berhubungan. Penggunaan NSAID sebaliknya mempengaruhi kemotaksis granulosit, fagositosis, dan  daya bunuh bakteri, sehingga memungkinkan progresi infeksi kulit atau jaringan lunak. Penderita dapat mengalami bakteremi dan hipotensi tanpa kegagalan sistim organ lain. Penemuan fisiknya minimal dibandingkan beratnya nyeri dan derajat demam. Pemeriksaan sering tidak jelas kecuali edema jaringan lunak dan eritema. Areal yang terinfeksi tampak merah, panas, mengkilap, bengkak, dan agak nyeri. Pada infeksi yang tidak diobati kulit menjadi biru keabu-abuan setelah 36 jam, dan bula kutaneus dan nekrosis timbul setelah 3-5 hari. Nekrotizing fasciitis akibat dari flora campuran, tetapi yang bukan karena Streptokokus grup A, dapat berhubungan dengan produksi gas. Tanpa pengobatan, nyeri berkurang karena trombosis pembuluh darah kecil dan destruksi saraf perifer, suatu tanda yang tidak baik. Angka mortalitas lebih dari 30 %, lebih dari 70 % yang berhubungan dengan TSS, dan hampir 100 % tanpa intervensi bedah. Nekrotizing fasciitis yang mengancam nyawa dapat juga terjadi akibat Clostridium Perfringens; pada keadaan ini penderita tampak toksik dan mortalitasnya tinggi. Dalam 48 jam, invasi jaringan cepat dan toksisitas sistemik terjadi berhubungan dengan hemolisis dan dapat terjadi kematian. Perbedaan antara nekrotizing fasciitis dan klostridial mionekrosis dibuat dengan biopsy otot.
           
2.3.2        Clostridial myonecrosis
 Myonecrosis sering berhubungan dengan trauma atau pembedahan tetapi dapat juga terjadi spontan. Masa inkubasi biasanya antara 12-24 jam, gangren nekrotik masif terjadi dalam beberapa jam setelah onset. Toksisitas sistemik, syok, dan kematian terjadi dalam 12 jam. Nyeri pada penderita yang kelihatan toksik diluar hal yang sebenarnya yang dapat ditemukan oleh dokter. Pada pemeriksaan, penderita tampak febris, apatis, takikardi, dan takipnu, serta dapat menampakkan perasaan seperti akan meninggal. Hipotensi dan gagal ginjal timbul kemudian dan kewaspadaan yang berlebihan terjadi sebelum meninggal. Kulit pada daerah yang terkena berwarna coklat tembaga, berbintik-bintik dan edematous. Lesi bulosa dengan drainase serosanguinus dan bau tikus atau bau manis dapat terjadi. Krepitus dapat terjadi sekunder terhadap produksi gas pada jaringan otot. Mortalitasnya lebih dari 65 % pada myonecrosis spontan, yang sering berhubungan dengan C. septikum dan keganasan yang mendasari. Angak kematiannya berhubungan dengan infeksi pada badan dan tungkai masing-masing sebesar 63 % dan 12 %, dan keterlambatan terapi bedah meningkatkan resiko kematian.


2.4.  INFEKSI NEUROLOGIS DENGAN ATAU TANPA SYOK SEPTIK


2.4.1         Meningitis bakterial
Merupakan salah satu infeksi yang paling sering, sifatnya emergensi, melibatkan SSP. Walaupun penderita dengan defisiensi imun cell mediated, meliputi resipien transplan, DM, lansia, keganasan, diobati dengan agen kemoterapeutik tertentu, tetap memiliki resiko untuk terkena meningitis Listeria monocytogenes, kebanyakan kasus pada dewasa disebabkan oleh Streptokokus pneumoni (30-50 %) dan Neisseria meningitidis (10-35 %). Presentasi awal berupa sakit kepala, meningismus, dan demam adalah klasik tetapi hanya terlihat separuh dari penderitanya. Lansia dapat tidak disertai demam atau tanda meningeal kecuali letargi dan konfusi. Disfungsi otak dibuktikan dengan adanya konfusi, delirium dan letargi yang dapat berlanjut menjadi koma. Presentasinya fulminan dengan sepsis dan edema otak pada beberapa kasus; papil edema tidak biasa. Tanda-tanda fokal, termasuk kelumpuhan saraf cranial (IV,VI,VII) dapat terlihat pada 10-20 % kasus; 50-60 % penderita mengalami bakteremi. Akibat neurologik yang parah berhubungan dengan, pada sembarang waktu selama kejadian penyakitnya atau dengan kadar glukosa LCS kurang dari 10 mg/dl. Mortalitas berhubungan dengan, distress pernafasa, syok, kadar protein LCS lebih dari 2,5 gr/l, hitung lekosit darah perifer kurang dari 5000/µl, dan kadar sodium serum kurang dari 135 mmol/l.
           
2.4.2         Infeksi supuratif intracranial
Lesi intrakranial yang jarang lainnya yang timbul dengan sepsis dan instabilitas hemodinamik adalah empiema subdural, trombosis septic sinus kavernosus, dan trombosis septic sinus sagitalis superior. Pengenalan yang cepat dari penderita yang toksik dan tanda-tanda neurologis sentral amat penting untuk memperbaiki prognosis penderita.
           
2.4.3         Empiema subdural
Infeksi asenden dari sinus paranasal pada 60-70 % kasus. Streptokokus mikroaerofilik dan Stafilokokus merupakan etiologi predominan. Pasien tampak toksik dengan demam, sakit kepala, dan kaku kuduk. Dari semua pasien, 75            % memiliki tanda-tanda fokal dan 6-20 % meninggal.

2.4.4         Trombosis septic sinus kavernosus
Kondisi ini terjadi setelah infeksi pada wajah atau sinus sphenoid; 70 % kasusnya akibat Stafilokokus dan sisanya Streptokokus aerobik atau anaerobic. Sakit kepala unilateral atau retroorbital berlanjut menjadi keadaan toksik dan demam dalam hitungan hari. Tiga perempat pasien mengalami edema periorbital unilateral yang kemudian menjadi bilateral dan berlanjut menjadi ptosis, proptosis, oftalmoplegia, dan papil edema. Angka mortalitasnya kira-kira 30 %.

 

2.4.4.1              Trombosis septic sinus sagitalis superior

Infeksi menyebar dari sinus etmoidalis atau maksilaris penyebabnya meliputi S. pneumoni, Streptokokus lainnya, dan Stafilokokus. Kejadian yang fulminan ditandai oleh sakit kepala, mual, muntah, progresi cepat kearah konfusi dan koma, kaku kuduk, dan tanda-tanda batang otak. Bila trombosis total angka mortalitas 80 %.


2.4.5         Abses otak

Sering terjadi tanpa tanda-tanda sistemik. Hampir separuh dari penderitanya afebris, dan presentasinya lebih konsisten dengan SOL dalam otak; 70 % sakit kepala, 50 % tanda neurologis local, dan 25 % mengalami papil edema. Abses dapat tampak sebagai lesi single atau multiple yang berasal dari penyebaran focus atau infeksi hematogen, seperti endokarditis yang tidak terdeteksi. Infeksi progress dalam beberapa hari dari serebritis menjadi abses dengan kapsul yang matang. Abses yang timbul hematogen khususnya mungkin ruptur kedalam ruang ventrikuler, menyebabkan deterioriasi status klinis yang tiba-tiba dan berat serta mortalitas tinggi. Bila mortalitas rendah, namun morbiditas tinggi (30-55 %). Pasien dengan stroke dan dengan fokus infeksi para meningeal, seperti sinusitis dan otitis, dapat mengalami abses otak. Prognosis memburuk pada pasien dengan kejadian yang fulminan, diagnosis yang terlambat, ruptur abses kedalam ventrikel, abses multiple, atau status neurologis abnormal.



2.4.6         Malaria serebral
Harus dipertimbangkan bila penderita baru-baru ini bepergian kedaerah endemis malaria kemudian menderita demam dan letargi atau tanda-tanda neurologis lainnya. Malaria fulminan disebabkan oleh Plasmodium falsifarum dan suhu penderita lebih dari 40 oC dan terdapat hipotensi, ikterus, ARDS, dan perdarahan. Perdefinisi, pasien dengan perubahan status mental atau kejang berulang, pada malaria fulminan, mengalami malaria serebral pada orang dewasa demam nonspesifik ini menjadi koma dalam beberapa hari; kadang-kadang terjadi dalam hitungan jam dan kematian dalam 24 jam. Kaku kuduk dan fotofobi jarang terjadi. Pada pemeriksaan fisik ensefalopati simetris tipikal, dan disfungsi motor neuron bagian atas dengan dekortikasi dan deserebrasi dapat terlihat pada penyakit yang lanjut. Infeksi yang tidak dikenali menyebabkan angka kematian sebesar 30 %.

2.4.7         Abses spinal epidural
Penderita dengan abses spinal epidural sering mengalami nyeri punggung dan muncul defisit neurologis pada keadaan lanjut. Penderita beresiko meliputi: penderita DM, pengguna obat intravena, trauma spinal yang baru terjadi, pembedahan, atau anestesia epidural; keadaan komorbiditas, seperti infeksi HIV. Vertebra torasik atau lumbalis merupakan lokasi yang paling sering, dan etiologi yang paling sering adalah Stafilokokus. Pada pasien pengguna obat IV. Yang terinfeksi HIV, terapi harus dapat mengkover batang gram negatif dan S. aureus resisten meticillin. Bila penderita memiliki riwayat nyeri punggung sebelumnya dan mengalami gejala neurologis baru-baru ini, diagnosis ini harus dipertimbangkan dengan segera. Hampir 60 % penderita mengalami demam dan hampir 90 % mengalami nyeri punggung. Parestesia, disfungsi usus dan kandung kemih, nyeri radikuler, dan kelemahan merupakan keluhan neurologis yang sering, dan pemeriksaan penderita dapat menunjukkan refleks abnormal dan defisit motorik dan sensorik. Pengenalan yang dini dan pengobatan meliputi: drainase segera, dapat mencegah atau meminimalkan sekuele neurologik yang permanen.

2.5   FOKAL SINDROM DENGAN KEJADIAN FULMINAN

Infeksi sebenarnya mengenai berbagai focus primer (osteomielitis, pneumonia, pielonefritis, atau kolangitis) dapat berakibat sepsis dan bakteremi. TSS dihubungkan dengan infeksi fokal seperti: arthritis septic, peritonitis, sinusitis, dan infeksi luka. Kematian terjadi sekunder terhadap septic syok atau produksi toksin dengan instabilitas hemodinamik dan kegagalan multiorgan. Deteriorasi klinik yang cepat dan kematian dapat berhubungan dengan destruksi tempat infeksi primer, seperti terlihat pada endokarditis dan infeksi necrotizing pada oro faring.

2.5.1         Mukormikosis rhinoserebral
Pasien dengan DM atau keganasan mempunyai resiko untuk terkena mukormikosis rhinoserebral invasive. Pasien tampak demam ringan, nyeri sinus yang tumpul, diplopia, penurunan status mental, berkurangnya gerakan mata, kemosis, proptosis, dan lesi palatum durum yang nekrotik. Tanpa pengenalan yang cepat dan intervensi proses berlanjut menjadi tidak dapat ditawar-tawar invasive dan mortalitasnya tinggi.

2.5.2         Endokarditis bakterialis akut
Kejadiannya lebih agresif dibandingkan endokarditis subakut. Bakteri seperti S. aureus, S. pneumonia, L. monocytogenes, Haemophilus spp; dan Streptokokus grup A, B, dan G, menyerang katup asli. Mortalitas 10-40 %. Penderita dapat memiliki keadaan komorbid seperti keganasan, DM, pengguna obat intravena, atau alcoholism. Penderita tampak demam, kelelahan, dan malaise, kurang dari 2 minggu setelah onset infeksi. Pada pemeriksaan fisik murmur yang bergantian dan gagal jantung kongestif dapat terjadi. Macula hemoragik pada telapak kanan dan telapak kaki (lesi Janeway). Kadang-kadang terjadi ptekie, bintik Roth’s, perdarahan tersendiri, dan splenomegali tidak biasa terjadi. Destruksi katup yang cepat, khususnya katup aorta, menyebabkan edema paru dan hipotensi. Abses miokardial dapat terbentuk mengikis septum atau kedalam sistem konduksi dan menyebabkan aritmia yang mengancam nyawa atau blok konduksi tingkat tinggi. Vegetasi besar yang rapuh dapat menyebabkan emboli arterial mayor, infeksi metastatik atau infark jaringan. Emboli dapat menyebabkan stroke, perubahan status mental, gangguan penglihatan, afasia, ataksia, sakit kepala, meningismus, abses otak, serebritis, infark medulla spinalis dengan paraplegia, athralgia, osteomielitis, abses limpa, arthritis septic, dan hematuria. Intervensi cepat amat penting untuk keberhasilan terapi.


3.  TINDAK LANJUT DIAGNOSTIK

Setelah penilaian klinis yang cepat bahan diagnostik harus diperoleh dengan cepat dan terapi antibiotik serta suportif harus dimulai. Pada sindroma sepsis, darah (untuk kultur; hitung darah lengkap dengan diferensial; pengukuran elektrolit serum, BUN, kreatinin serum dan glukosa serum; serta tes fungsi hati) dapat diperoleh pada saat dipasang infus dan sebelum diberikan antibiotik. Untuk penderita dengan kemungkinan endokarditis akut, tiga set kultur darah harus diambil. Penderita asplenik harus diperiksa hapus darah tepi untuk konfirmasi adanya Howell-Jolly bodies (mengindikasikan tidak berfungsinya limfa) dan Buffy coat yang diperiksa untuk bacteria; penderita ini dapat memiliki lebih dari 106 organisme per ml darah (dibandingkan 104 per ml pada pasien dengan limpa yang utuh). Hapus darah untuk penderita dengan kemungkinan malaria serebral atau babesiosis  harus diperiksa untuk diagnostik dan menentukan kwantitas parasitemia. Hapus darah juga dapat menjadi alat diagnostik pada ehrlichiosis.
            Pasien dengan meningitis harus diambil LCSnya sebelum terapi antibiotik dimulai. Bila tanda neurologis fokal tampak, status mental abnormal, papil edema tampak sebelum pungsi lumbal, antibiotik harus diberikan mendahului imaging tetapi setelah darah untuk kultur diambil. Bila kultur LCS negatif pemeriksaan LCS dengan aglutinasi lateks atau imunopresipitasi dapat diusahakan untuk menegakkan diagnosis etiologic. Namun kultur darah akan menegakkan diagnosis pada 50-70 % kasus.
            Abses fokal mengharuskan CT segera atau MRI sebagai bagian dari evaluasi untuk intervensi bedah. Prosedur diagnostik lainnya seperti kultur luka atau kerokan lesi kulit, sebaiknya tidak menunda pemberian terapi inisial lebih dari beberapa menit. Setelah evaluasi dibuat, prosedur diagnostik dan kalau perlu konsultasi bedah dilengkapi, uji laboratorium lainnya dapat dikerjakan. Radiografi yang sesuaim CT aksial, MRI, urinalisis, LED, dan ekokardiografi transtorasik atau transesofagial, seluruhnya ini dapat membantu untuk menegakkan diagnostik.



4.  TERAPI

Tabel dihalaman berikut merupakan terapi lini pertama untuk infeksi-infeksi yang disebutkan pada bab ini. Sebagai tambahan terapi antibiotik parenteral inisiasi beberapa infeksi ini memerlukan perhatian bedah yang mendesak. Bedah umum untuk kemungkinan necrotizing fasciitis atau mionekrosis, evaluasi neurosurgikal untuk empiema subdural atau abses epidural spinal, pembedahan otolaringologi untuk kemungkinan mukormikosis, dan pembedahan kardiotorasik untuk kemungkinan penderita kritis dengan endokarditis akut sama pentingnya dengan terapi antibiotik yang cepat. Untuk infeksi seperti necrotizing fasciitis dan mionekrosis klostridial, intervensi bedah yang segera lebih penting dibandingkan tindakan diagnostik atau terapeutik lainnya.
            Penderita acutely ill febrile memerlukan observasi ketat, pengukuran suportif yang agresif dan pada sebagian besar kasus perawatan di ICU. Terapi tambahan seperti IV. Imunoglogulin untuk TSS dapat dipertimbangkan untuk stabilisasi awal. Tugas dari dokter yang terpenting adalah mengenali infeksi akut yang sifatnya emergensi dan melanjutkan  sesuai dengan urgensinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Blog Pinger Free