k o m a
I. PENDAHULUAN
Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi, dan waktu. Agar sadar penuh maka diperlukan system pengaktifan retikuler yang utuh dan berfungsinya pusat-pusat otak di korteks serebri serta utuhnya hubungan-hubungan melalui thalamus. Kesadaran dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang mengenali diri dan lingkungannya serta responnya terhadap stimulus dari luar dan kebutuhan dirinya. Kesadaran mempunyai dua komponen, yaitu derajat dan kualitas. Derajat kesadaran menunjukkan tingkat kesadaran ditentukan oleh jumlah atau kuantitas input susunan saraf pusat, sedangkan kualitas kesadaran yang menunjukkan isi pikiran dan tingkah laku ditentukan oleh cara pengolahan input sehingga menghasilkan pola-pola output susunan saraf pusat. Secara sederhana derajat kesadaran dibagi menjadi komposmentis, somnolen, sopor dan koma. Unyuk menilai derajat kesadaran dapat digunakan suatu skala yang dikenal dengan nama skala koma glasgow.Perubahan kesadaran biasanya berawal dari gangguan fungsi diensefalon, yang ditandai oleh kebingungan, letargi dan akhirnya stupor seiring dengan makin sulitnya seseorang untuk terjaga. Penurunan kesadaran yang berlanjut terjadi pada disfungsi otak tengah, ditandai oleh semakin dalamnya keadaan stupor dan pada akhirnya dapat terjadi disfungsi medulla serta pons yang menyebabkan keadaan koma sejati. Penurunan progresif kesadaran ini digambarkan sebagai perkembangan rostral-kaudal.
Koma adalah keadaan hilangnya respon fisiologis terhadap stimulus dari luar atau kebutuhan dirinya. Koma merupakan derajat kesadaran yang terendah, dimana pasien tidak dapat dibangunkan dengan rangsang verbal maupun rangsang nyeri.
Penurunan kesadaran dan koma termasuk masalah yang paling sering ditemui dalam kedokteran. Kedua keadaan ini tercatat sebagai kasus yang sering menyebabkan pasien dibawa ke ruang gawat darurat rumah sakit dan menyebabkan ketegangan dalam penanganannya. Karena kesadaran berkabut dan penurunan kesadaran seringkali menyertai dan disebabkan oleh berbagai penyakit yang sama, keduanya akan dijelaskan di sini, tapi ditinjau dari perspektif medis keduanya memiliki karakteristik klinis dan fisiologis yang berbeda.
Dasar dari kesadaran sejak lama menjadi topik yang sangat menarik perhatian para ahli fisiologi dan filosofi dan menjadi subjek dalam banyak sekali literatur. Para dokter memberikan perhatian khusus pada gangguan tingkat kesadaran (koma, stupor, drowsiness).
II KOMA DAN GANGGUAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESADARAN
Suatu keadaan yang ditandai oleh menurunnya kewaspadaan dan respon digambarkan dalam suatu rangkaian/urutan di mana bentuk yang paling berat disebut sebagai koma, suatu keadaan seperti tidur yang dalam dan pasien tidak dapat dibangunkan. Pada stupor, suatu penurunan kesadaran di bawah koma, pasien dapat dibangunkan dengan stimulus yang kuat (misalnya rangsang nyeri), disertai dengan gerakan motorik untuk menghindari stimulus tersebut. Somnolen, suatu keadaan yang familier bagi semua orang, berupa tidur ringan dengan karakteristik mudah dibangunkan dan masih ada kewaspadaan yang berlangsung singkat. Somnolen dan stupor biasanya diikuti dengan beberapa tingkatan keadaan bingung (confusion). Pada aplikasi klinis istilah tersebut sebaiknya disertai dengan deskripsi naratif mengenai derajat mudah tidaknya pasien dibangunkan dan tipe respon terhadap stimulus setepat mungkin, yang diobservasi di samping tempat tidur pasien. Penjelasan di atas lebih disukai daripada istilah lain yang memiliki beberapa arti seperti semikoma atau obtundation, suatu istilah yang didefinisikan berbeda-beda oleh setiap dokter.
Pusat kesadaran terdapat di formasio retikularis di rostal batang otak yang dikenal dengan nama ARAS (Ascending Reticular Activating System) yang terletak memanjang mulai dari pons bagian tengah ke hipotalamus dan talamus. ARAS ini berfungsi untuk mempertahankan derajat kesadaran, sedangkan proyeksi talamokortikal dan korteks serebri lebih berfungsi menentukan kualitas kesadaran. Sampai saat ini diketahui ada 3 jaras ke atas dari formasio retikularis, (1) jaras ke nukleus retikuler talamus dan kemudian ke korteks serebri. (2) jaras ke atas melalui hipotalamus dan kemudian mempengaruhi struktur ganglia basalis termasuk sistem limbik. (3) pengaruh dari akson neuron serotonin di batang otak dan neuron norepinefrin di lokus seruleus yang mempersarafi korteks secara luas dan difus. Setelah itu impuls dari berbagai area tersebut diterima di korteks serebri. Kesadaran dapat terganggu bila terjadi gangguan di korteks serebri, di batang otak atau dikeduanya.
Beberapa kondisi neurologis lain menyebabkan pasien tidak responsif dan menyerupai koma, dan subsindroma tertentu lainnya harus dipikirkan secara terpisah karena memiliki arti khusus. Pada keadaan di atas, status vegetatif menunjukkan pasien sadar tapi tidak responsif. Kebanyakan dari pasien-pasien tersebut berada dalam keeadaan koma sebelumnya, dan setelah beberapa hari atau minggu menjadi tidak responsif di mana kelopak mata membuka dan penampilan lemah. Menguap, mendengkur, menelan, seperti halnya pergerakan anggota tubuh dan kepala muncul, tapi hanya sedikit, jika ada, berupa respon bermakna terhadap lingkungan eksternal dan internal – pada intinya “koma yang terjaga”. Walaupun fungsi pernafasan dan otonom masih dapat dipertahankan, istilah “vegetatif” sayangnya di. Selalu terdapat tanda-tanda penyerta yang mengindikasikan kerusakan luas pada kedua hemisfer serebri, seperti deserbrasi atau dekortikasi dan tidak adanya respon terhadap stimulus visual. Henti jantung dan cedera kepala merupakan penyebab tersering status vegetatif. Prognosis untuk mengembalikan status mental setelah status vegetatif terjadi selama beberapa bulan hampir mustahil, sehingga memunculkan istilah status vegetatif persisten.
III PENDEKATAN TERHADAP PASIEN
Diagnosis dan penatalaksanaan koma tergantung dari pengetahuan dokter mengenai penyebab utama dan interpretasi terhadap tanda klinis yang menonjol, terutama refleks-refleks dan fungsi motorik. Masalah pernafasan dan kardiovaskuler akut harus dicari sebelum dilakukan pemeriksaan neurologis. Evaluasi medis lengkap, kecuali tanda vital, funduskopi, dan pemeriksaan rigiditas nuchal, dapat ditunda sampai evaluasi neurologis dapat menegakkan derajat dan sebab koma.
3.1 ANAMNESIS
Pada banyak kasus, penyebab koma dapat diketahui segera (misalnya trauma, henti jantung, atau minum obat yang diketahui jenisnya). Sisanya, informasi mengenai onset koma jarang didapat, tapi beberapa poin tertentu yang didapat dari anamnesis sangat bermanfaat :
(1) keadaan yang menyertai dan kecepatan perkembangan gejala-gejala neurologist.
(2) gejala mendetil yang terjadi sebelum munculnya gejala medis dan neurologis
(misalnya bingung, kelemahan, sakit kepala, demam, bangkitan, pusing,
penglihatan ganda, atau muntah).
(3) pengunaan obat-obatan, narkotika, atau alcohol.
(4) penyakit hati kronis, ginjal, paru-paru, jantung, atau penyakit lainnya.
3.2 PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Pada suatu keadaan penurunan kesadaran, ada 5 hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan fisik untuk menentukan penyebabnya.
Temperatur, nadi, pernafasan per menit dan pola pernafasan, dan tekanan darah harus diperiksa dengan cepat. Demam mengesankan adanya infeksi sistemik, meningitis bakterialis, atau ensefalitis; jarang sekali demam yang terjadi berkaitan dengan lesi otak yang mengganggu pusat regulasi suhu tubuh. Peningkatan sedikit temperatur dapat mengikuti konvulsi yang hebat. Temperatur tubuh yang tinggi, 42 –44oC, disertai dengan kulit kering menimbulikan kecurigaan terhadap heat stroke atau intoksikasi obat antikolinergik. Hipotermia dapat terjadi pada paparan dengan suhu lingkungan yang dingin, alkoholik, intoksikasi barbiturat, sedatif, atau fenotiazin, hipoglikemia, kegagalan sirkulasi perifer, atau hipotiroidisme. Hipotermia dapat menyebabkan koma jika temperatur di bawah 31oC. Takipnea dapat mengindikasikan adanya asidosis atau pneumonia. Pola respirasi yang menyimpang mungkin menggambarkan gangguan batang otak. Hipertensi yang nyata, suatu tanda dari ensefalopati hipertensi atau peningkatan tekanan intrakranial yang cepat, dapat muncul secara akut setelah cedera kepala. Hipotensi merupakan karakteristik dari koma akibat intoksikasi alkohol atau barbiturat, perdarahan internal, infark miokardium, sepsis, hipotiroidisme berat, atau krisis Addison. Pemeriksaan funduskopi merupakan penuntun untuk mendeteksi perdarahan subarachnoid, ensefalopati hipertensif, dan peningkatan tekanan intra kranial. Petekiae generalisata menunjukkan adanya purpura trombotik trombositopenik, meningokoksemia, atau perdarahan diatesis yang menyebabkan perdarahan intraserebral.
3.3 PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Ketika datang keadaan pasien diobservasi tanpa intervensi pemeriksa. Pasien yang tampak limbung, reach up toward the face, menyilangkan kaki, menguap, menelan, batuk, atau mengerang lebih cenderung sadar. Hilangnya pergerakan pada satu sisi atau salah satu tungkai membuka ke luar saat istirahat (outturned leg at rest) menunjukkan hemiplegia. Kedutan berkala pada otot kaki, jari, atau wajah mungkin gejala satu-satunya dari suatu bangkitan. Myoklonus multifokal hampir selalu mengindikasikan gangguan metabolik, khususnya azotemia, anoksia, atau ingesti obat (lithium dan haloperidol merupakan jenis obat yang sering menjadi penyebab), atau yang lebih jarang terjadi, ensefalopati spongiform dan penyakit hashimoto.
Istilah rigiditas dekortikasi dan deserebrasi, atau “posturing”, menggambarkan gerakan stereotipe lengan dan tungkai yang timbul spontan atau akibat timulasi sensoris. Siku dan pergelangan tangan fleksi dan lengan supinasi (dekortikasi) menunjukkan kerusakan bilateral yang berat dari rostral sampai otak tengah. Sedangkan siku ekstensi dan pergelangan tangan pronasi (deserebrasi) mengindikasikan kerusakan traktus motorius di otak tangah atau diensefalon kaudal. Kombinasi yang lebih jarang berupa ekstensi lengan dengan kaki fleksi atau flaksid berkaitan dengan lesi di pons. Konsep ini diadaptasi dari hewan dan tidak dapat diaplikasikan seluruhnya pada manusia yang koma. Malah pada kenyataanya, gangguan otak yang akut dan luas tidak tergantung lokasinya, sebih sering menyebabkan ekstensi ekstremitas tubuh dan hampir semuanya berlanjut menjadi fleksi. Lagipula, “posturing” saja tidak dapat digunakan untuk menentukan lokasi anatomik dengan tepat. “Posturing” juga dapat terjadi unilateral dan dapat disertai dengan gerakan tubuh dengan maksud tertentu, biasanya menunjukkan kerusakan sistem motorik yang inkomplit.
3.3.1 DERAJAT KOMA
Jika pasien tidak dapat dibangunkan dengan volume suara percakapan, digunakan stimulus yang lebih kuat dan intens untuk menentukan ambang kesadaran dan respon motorik optimal setiap anggota gerak tubuh pasien. Harus diketahui, bahwa hasil tes tersebut bervariasi menurut waktu sehingga pemeriksaan serial sangat berguna. Menggelitik lubang hidung dengan ujung kapas merupakan stimulus sedang untuk membangunkan pasien- semua kecuali pasien stupor yang dalam dan koma akan memalingkan kepala dan bangun dalam berbagai derajat.
Respon terhadap stimulus yang menyakitkan harus dinilai dengan kritis. “Posturing” stereotipe mengindikasikan disfungsi berat sistem kortikospinal. Gerakan menghindar dengan abduksi ekstremitas biasanya disengaja dan menunjukkan sistem kortikospinal yang intak . Tekanan pada tulang atau prominentia dan tusukan jarim merupakan bentuk dari stimulus nyeri. Cubitan pada kulit menyebabkan ekimosis dan pada umumnya tidak diperlukan tapi dapat berguna untuk menimbulkan gerakan tarikan anggota tubuh berupa abduksi. Sebaliknya aduksi dan fleksi yang konsisten pada anggota tubuh yang diberi stimulus dapat menunjukkan asal dan implikasi kerusakan sistem kortikospinal. Klonus atau kedutan singkat dapat timbul di akhir gerakan ekstensi pada “posturing” dan jangan disalahartikan sebagai kejang.
3.3.2 REFLEKS-REFLEKS BATANG OTAK
Pemeriksaan terhadap kerusakan batang otak sangat penting untuk menentukan lokasi lesi pada koma. Refleks batang otak yang harus diperiksa dengan cermat adalah respon pupil terhadap cahaya, gerakan kelopak mata spontan dan akibat rangsangan, respon kornea, dan pola pernafasan. Sebagai panduan, ketika terjadi aktivitas batang otak, khususnya reaksi pupil dan gerakan mata, koma harus dianggap berasal dari penyakit hemisfer bilateral. Sebaliknya, bagaimanapun juga, tidak selalu benar bahwa massa di kedua hemisfer dapat menjadi penyebab koma yang paling mungkin, meskipun menimbulkan tanda-tanda batang otak.
3.3.2.1 Pupil
Reaksi pupil diperiksa dengan cahaya difus yang terang (bukan dengan opftalmoskop). Apabila tidak ada respon, harus dikonfirmasi dengan melakukan observasi melalui kaca pembesar. Reaksi terhdap cahaya seringkali sulit dinilai jika diameter pupil < 2 mm dan ruangan yang terang akan mematikan reaksi pupil. Secara normal, pupil yang bulat dan reaktif dengan ukuran sedang (2,5 – 5 mm) menyingkirkan kerusakan otak tengah, baik primer maupun sekunder terhadap kompresi. Jika pupil tidak reaktif dan membesar (>6 mm) atau kurang reaktif menunjukkan kompresi atau regangan pada saraf otak ketiga akibat massa yang berada di atasnya. Pembesaran pupil kontralateral dari massa dapat terjadi walaupun jarang. Hal ini dapat ditemukan pada kasus hematoma subdural atau perdarahan otak, mungkan sebagai akibat dari kompresi pada otak tengah atau saraf otak ketiga yang berlawanan dengan batas tentorial. Pupil oval dan sekikit eksentrik merupakan tanda transisional yang menyertai kompresi awal otak tengah dan saraf otak ketiga. Tanda pulpi yang paling ekstrim, yaitu dilatasi bilateral dan tidak reaktif, menunjukkan kerusakan otak tengah yang berat, biasanya akibat kompresi oleh massa atau ingesti obat dengan aktivitas antikolinergik. Penggunaan obat tetes mata midriatik oleh pemeriksa sebelumnya atau dilakukan oleh pasien itu sendiri, serta trauma okuler langsung merupakan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan kesalahan penilaian pembesaran pupil.
Miosis unilateral pada koma berkaitan dengan disfungsi simpatis eferen yang berasal dari hipotalamus posterior dan turun ke tegmentum batang otak menuju cervikal. Kedua pupil reaktif dan berukuran kecil (1 – 2,5 mm) tapi tidak sampai pinpoint dapat terjadi pada ensefalopati metabolik atau lesihemisfer bilateral yang dalam seperti perdarahan pada hidrosefalus atau talamus. Kedua pupil yang berukuran sangat kecil tetapi reaktif (<1 mm) merupakan karakteristik dari overdosis narkotika atau barbiturat, tapi juga dapat timbul pada perdarah pons yang luas. Respon terhadap nalokson dan timbulnya refleks pergerakan mata akan membedakan keduanya. Pupil kecil unilateral pada sindroma Horner dapat dideteksi dengan melihat kegagalan pupil untuk membesar dalam gelap, namun jarang ditemukan jika terjadi perdarahan serebral yang luas dan berdampak talamus.
3.3.2.2 Pergerakan Okuler
Gerakan mata merupakan tanda kedua terpenting dalam menentukan kerusakan batang otak. Keadaan abnormal berdampak pada fungsi otak tengah dan pons. Pemeriksaan mata diawali dengan elevasi kelopak mata dan menilai posisi istirahat dan gerakan spontan dari bola mata. Tonus kelopak, dites dengan membuka kelopak mata dan menilai resistensinya dalam membuka dan kecepatannya menutup, kemampuan ini akan menurun secara progresif dengan bertambah dalamnya koma. Divergensi horizontal mata saat istirahat merupakan hal yang normal terjadi pada kesadaran somnolen. Seiring dengan semakin dalamnya koma, aksis kedua mata kembali paralel. Abduksi mata menunjukkan paresis rektus medialis, berhubungan dengan disfungsi saraf otak ketiga, dan memiliki signifikansi yang sama dengan pembesaran pupil. Aduksi mata mengindikasikan paresis rektus lateralis, akibat lesi pada saraf otak keenam, dan apabila terjadi bilateral seringkali merupakan tanda dari peningkatan tekanan intrakranial. Dengan sedikit perkecualian, separasi vertikal kedua aksis okuler (satu mata lebih rendah dari yang lain) disebabkan oleh lesi pons atau serebellum, namun dapat juga merupakan manifestasi dari kelumpuhan saraf otak ketiga.
Pergerakan mata spontan pada koma, seringkali terjadi berputar secara konjugasi horizontal. Keadaan ini saja sudah dapat menyingkirkan
DAFTAR PUSTAKA
1. Harrison ’s Principles of Internal Medicine 16th Edition, page 1625 – 1631.
2. Harrison ’s Manual of Medicine 16th Edition, page 54 – 58
3. Current Medical Diagnosis & Treament 44th Edition, 2005, page 986 –988.
4. Young GB. Conciousness In : Coma and Impairment Conciousness. New York , 1998 : 3-37
5. Victor M, Ropper AH. Adams and Victors Principles of Neurology. 7th ed. New York , 2001 : 366-389, 821-917
0 komentar:
Posting Komentar