DEMAM & HIPERTERMIA
I. PENDAHULUAN
1.1 Demam
Demam adalah peningkatan suhu tubuh yang melebihi variasi normal harian dan timbul bersamaan dengan peningkatan set poin hipotalamus – sebagai contoh, dari 37oC ke 39oC. Pergeseran set poin dari “normotermik” ke derajat febris ini sangat menyerupai pengaturan termostat rumah ke derajat yang lebih tinggi untuk meningkatkan temperatur ruangan. Apabila set poin hipotalamus meningkat, neuron-neuron dalam pusat vasomotor akan teraktivasi dan dimulailah vasokonstriksi. Seseorang akan merasakan vasokonstriksi pertama kali di tangan dan kaki. Pengalihan aliran darah dari perifer ke organ internal pada dasarnya mengurangi kehilangan panas dari kulit, dan individu tersebut akan merasa dingin. Pada hampir semua kejadian demam suhu tubuh meningkat sebanyak 1 sampai 2oC. Menggigil, yang akan meingkatkan produksi panas dari otot, mungkin dimulai pada saat ini; bagaimanapun juga, menggigil tidak dibutuhkan jika mekanisme konservasi panas dapat meningkatkan suhu darah secara memadai. Produksi panas dari hati juga meningkat. Pada manusia, perilaku naluriah (seperti memakai pakaian berlapis-lapis atau selimut) akan mengurangi permukaan yang terpapar, sehingga membantu meningkatkan suhu tubuh.
Proses koservasi panas (vasokonstriksi) dan produksi panas (menggigil dan peningkatan aktivitas metabolisme) akan berlanjut sampai temperatur darah di mana neuron-neuron hipotalamus terendam sesuai dengan pengaturan termostat yang baru. Jika poin tersebut tercapai, hipotalamus akan mempertahankan temperatur pada derajat febris dengan mekanisme keseimbangan panas yang sama dengan keadaan afebris. Apabila set poin hipotalamus kembali turun (akibat menurunnya konsentrasi pirogen atau penggunaan antipiretik), proses kehilangan panas melalui vasodilatasi dan berkeringat akan dimulai. Pada keadaan ini perilaku berubah termasuk melepaskan pakaian yang tadinya berlapis-lapis atau tidak memakai selimut. Kehilangan panas dengan berkeringan dan vasodilatasi berlanjut sampai temperatur darah pada hipotalamus sesuai dengan pengaturan yang lebih rendah.
Demam > 41,5oC disebut hiperpireksia. Demam yang luar biasa tinggi ini dapat terjadi pada pasien dengan infeksi berat tapi paling umum timbul pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat. Pada era preantibiotik, demam akibat berbagai penyakit infeksi jarang melebihi 41oC dan telah terjadi spekulasi bahwa panas tinggi yang natural ini diperantarai oleh neuropeptida yang berfungsi sebagai antipiretik pusat.
Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, set poin hipotalamus meningkat sebagai akibat dari trauma lokal, perdarahan, tumor, atau malfungsi intrinsik hipotalamus. Istilah hypothalamic fever / demam hipotalamus kadang digunakan untuk menggambarkan peningkatan temperatur akibat fungsi hipotalamus yang abnormal. Bagaimanapun, hampir semua pasien dengan kerusakan hipotalamus memiliki suhu tubuh subnormal, bukan supranormal. Pasien ini tidak dapat memberikan respon yang tepat terhadap perubahan temperatur lingkungan yang ringan. Sebagai contoh, ketika terpapar oleh suhu dingin yang ringan, temperatur inti mereka turun lebih cepat daripada normal yang biasanya membutuhkan waktu beberapa jam. Pada sebagian kecil pasien, di mana peningkatan temperatur inti dicurigai berhubungan dengan kerusakan hipotalamus, diagnosis tergantung pada demonstrasi fungsi abnormal yang lain dari hipotalamus, seperti produksi faktor peleapasan (releasing factors) dari hipotalamus, respon abnormal terhadap temperatur dingin, dan tidak adanya temperatur sirkadian dan irama hormonal.
1.2 Hipertermia
Hipertermia ditandai dengan tidak berubahnya (normotermik) pengaturan pusat termoregulator dalam hubungannya dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terkontrol, yang melebihi kemampuan tubuh untuk mengatasi kehilangan panas. Paparan panas eksogen dan produksi panas endogen merupakan dua mekanisme yang dapat menyebabkan hipertermia pada temperatur internal yang tinggi dengan tingkat yang membahayakan. Produksi panas yang berlebihan dapat menyebabkan hipertermia dengan mudah, dibandingkan dengan kontrol temperatur tubuh secara fisiologis dan perilaku. Misalnya, pakaian terlalu tertutup dapat menyebabkan peningkatan temperatur inti, dan olah raga di lingkungan panas mengakibatkan produksi panas terjadi lebih cepat daripada pelepasan panas oleh mekanisme perifer.
Walaupun sebagian besar pasien dengan temperatur tubuh yang meningkat mengalami demam, hanya sedikit keadaan di mana terdapat peningkatan temperatur bukan berupa demam, melainkan hipertermia. Heat stroke disebabkan oleh kegagalan termoregulator dalam hubungannya dengan lingkungan yang hangat, dapat dikategorikan sebagai eksersional dan noneksersional. Exertional heat stroke khas timbul pada individu usia muda yang berolah raga di lingkungan dengan temperatur dan/atau kelembaban yang lebih tinggi dari normal. Bahkan pada individu normal, dehidrasi atau pengunaan obat yang umum (misalnya antihistamin dengan efek samping antikolinergik yang dijual bebas) dapat memicu terjadinya exertional heat stroke. Nonexertional atau exertional heat stroke secara khas timbul pada orang tua, terutama selama terjadinya gelombang panas. Sebagai contoh, di Chicago pada bulan Juli 1995, 465 kematian yang terjadi berhubungan dengan panas. Para lanjut usia, orang yang karena suatu hal harus terus berbaring di tempat tidur, pengguna obat-obat antikolinergik atau antiparkinson atau diuretik, dan orang yang berada di lingkungan dengan ventilasi buruk atau tanpa air conditioner, adalah orang-orang yang paling rentan terkena nonexertional heat stroke.
Tabel 1. Penyebab Sindroma Hipertermia
Heat Stroke
Eksersional : berolah raga di lingkungan panas dan/atau kelembabannya melebihi normal
Non eksersional : antikolinergik, termasuk antihistamin; antiparkinson; diuretik, fenotiazin
Hipertermia yang diinduksi obat-obatan
Amfetamin, inhibitor monoamin oksidase; kokain; phensiklidin; antidepresan trisiklik; LSD
Sindroma neuroleptik maligna
Fenotiazin : butirofenon, termasuk haloperidol dan bromperidol; fluoksetin, loksapin;
dibenzodiazepin trisiklik; metoklopramid; domperidon; tiotiksen; molindon
Hipertermia maligna
Anestesi inhalasi; suksinil kolin
Endokrinopati
Tirotoksikosis
Feokromasitoma
Hipertermia akibat induksi obat sekarang telah umum terjadi sebagai akibat dari meningkatnya penggunaan obat-obat psikotropika dan narkotika. Keadaan ini dapat disebabkan oleh inhibitor monoamin oksidase, antidepresan trisiklik, dan amfetamin, serta penggunaan narkotika seperti pheniclidin, LSD (lysergic acid diethylamide), atau kokain.
Hipertermia maligna terjadi pada individu dengan retikulum sarkoplasmik otot skeletal abnormal yang diturunkan. Hal tersebut menyebabkan peningkatan cepat kadar kalsium intrasel sebagai respon terhadap halotan dan anestesi inhalasi lainnya atau terhadap suksinilkolin. Peningkatan termperatur, peningkatan metabolisme otot, rigiditas, rabdomiolisis, asidosis, dan instabilitas kardiovaskuler berkembang dengan cepat. Kondisi ini seringkali fatal. Sindroma neuroleptik maligna dapat timbul akibat fenotiazin dan obat-obat lain seperti haloperidol, dan secara khas ditandai dengan rigiditas otot, disregulasi otonom, dan hipertermia. Gangguan ini disebabkan oleh inhibisi reseptor dopamin pusat di hipotalamus, yang mengakibatkan peningkatan produksi panas dan penurunan pembuangan panas. Tirotoksikosis dan feokromasitoma dapat juga menyebabkan peningkatan termogenesis.
Membedakan demam dengan hipertermia merupakan hal yang sangat penting, mengingat hipertermia cepat berakibat fatal dan memiliki karakteristik tidak memberi respon terhadap antipiretik. Walaupun begitu, tidak ada cara cepat untuk membedakan kedua keadaan ini. Hipertermia seringkali didiagnosis berdasarkan kejadian yang terjadi sesaat sebelum peningkatan temperatur inti – misalnya paparan panas atau pengobatan dengan obat yang mempengaruhi termoregulasi. Meskipun demikian, sebagai tambahan dalam riwayat penyakit pasien, aspek fisik dari beberapa bentuk hipertermia dapat mengingatkan klinisi untuk waspada. Misalnya, pada pasien dengan heat stroke syndromes dan pengguna obat-obatan yang menghambat pengeluaran keringat, kulit teraba panas namun tidak kering.Terlebih lagi, antipiretik tidak dapat menurunkan peningkatan temperatur pada hipertermia, di mana pada demam – dan bahkan pada hiperpireksia – aspirin atau asetaminofen dengan dosis yang adekuat biasanya dapat menurunkan suhu tubuh.
II. PATOFISIOLOGI
2.1 Pirogen
Istilah pirogen digunakan untuk menggambarkan setiap substansi yang menyebabkan demam. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh pasien; paling sering berupa produk mikroba, toksin mikroba, atau seluruh bagian dari mikroorganisme. Contoh klasik dari pirogen eksogen adalah endotoksin lipopolisakarida yang diproduksi oleh semua bakteri gram negatif. Endotoksin bersifat poten tidak hanya sebagai pirogen, tapi juga sebagai penginduksi atas berbagai perubahan patologis pada infeksi gram negatif. Grup lain dari pirogen bakteri yang poten adalah produk organisme gram positif dan termasuk enterotoksin dari Staphylococcus aureus dan toksin Streptokokkus grup A dan B, yang disebut juga superantigen. Salah satu toksin stafilokokkus yang penting secara klinis adalah toksin sindroma syok toksik. Toksin ini berkaitan dengan S. aureus yang diisolasi dari pasien dengan sindroma syok toksik. Seperti endotoksin dari bakteri gram negatif, toksin yang diproduksi stafilokokkus dan streptokokkus menyebabkan demam pada hewan percobaan setelah disuntik intravena dengan kadar toksin < 1 g/kg berat badan. Endotoksin merupakan molekul pirogen tinggi pada manusia; dosis 2 sampai 3 ng/kg sudah menyebabkan demam dan gejala malaise yang terjadi pada hampir semua sukarelawan percobaan.
2.2 Sitokin pirogen
Sitokin adalah protein berukuran kecil (massa molekul 10.000 sampai 20.000 Da) yang mengatur kekebalan, inflamasi, dan proses hematopoietik. Sebagai contoh, stimulasi proliferasi limfosit selama respon imun terhadap vaksinasi disebabkan oleh sitokin interleukin (IL) 2, IL-4, dan IL-6. Sitokin lain, granulocyte colony-stimulating factor, menstimulasi granulositopoiesis di sumsum tulang. Dari sudut pandang sejarah, biologi sitokin dimulai pada 1940-an dengan penelitian laboratorium berupa induksi demam oleh produk dari leukosit yang sudah teraktivasi. Molekul penyebab demam ini disebut pirogen endogen. Ketika pirogen endogen dimurnikan dari lekosit yang teraktivasi, tampaknya mereka memiliki berbagai aktivitas biologis, yang sekarang dikenal sebagai bagian dari berbagai sitokin.
Sitokin piruogen yang telah dikenal antara lain IL-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF), cilliary neurotropic factor (CNTF), dan interferon (IF) . Mungkin masih terdapat sitokin lain. Setiap sitokin dilambangkan dengan gen yang terpisah, dan setiap sitokin pirogen terlihat menyebabkan demam dalam percobaan laboratorium pada hewan dan manusia. Apabila disuntikkan pada manusia, IL-1, IL-6, dan TNF dapat memproduksi panas pada dosis rendah (10-100 ng/kg).
Sintesis dan pelepasan siokin pirogen endogen diinduksi oleh pirogen eksogen berspektrum luas, dengan sebagian besar dikenal bersumber dari bakteri atau jamur. Virus juga menginduksi sitokin pirogen dengan menginfeksi sel-sel. Walaupun begitu, tidak adanya infeksi mikroba, inflamasi, trauma, nekrosis jaringan, atau kompleks antigen-antibodi, dapat menginduksi produksi IL-1, TNF, dan/atau IL-6 yang akan – secara tunggal atau kombinasi – memicu hipotalamus untuk meningkatkan set poin ke derajat febris. Sumber seluler dari sitokin pirogen terutama berasal dari monosit, neutrofil, dan limfosit, walaupun masih banyak tipe sel yang dapat menghasilkan molekul-molekul ini jika terstimulasi.
2.3 Elevasi set poin hipotalamus oleh sitokin
Selama demam, kadar prostaglandin E2 (PGE2) meningkat dalam jaringan hipotalamus dan ventrikel serebri ketiga. Konsentrasi PGE2 tertinggi di dekat organ vaskuler sirkumventrikuler (organum vasculosum dari lamina terminalis), merupakan jaringan kerja dari kapiler yang membesar yang mengelilingi pusat regulator hipotalamus. Kerusakan pada organ-organ ini mengurangi kemampuan pirogen untuk menyebabkan demam. Kebanyakan penelitian pada hewan telah gagal memperlihatkan, bagaimanapun juga, bahwa sitokin pirogen keluar melalui sirkulasi menuju otak itu sendiri. Selain itu, tampaknya pirogen endogen maupun eksogen berinteraksi dengan endothel kapiler-kapiler ini dan interaksi tersebut merupakan tahap awal dalam inisiasi demam – yaitu untuk meningkatkan set poin menuju level febris.
Infeksi, toksin mikroba, mediator inflamasi, reaksi imun
Toksin mikroba
Demam
Konservasi panas, produksi panas
Siklik AMP Set poin pada termoregulator meningkat
Monosit / makrofag, sel endothel, lain-lain PGE2
Endothel Hipotalamus
Sitokin pirogen
IL-1, IL-6, TNF, IFN
Diagram 1. Kronologi Peristiwa yang terjadi dalam Induksi Demam
Beberapa tipe sel menghasilkan dapat menghasilkan sitokin pirogenik, seperti monosit atau makrofag dan sel-sel endotel. Sitokin-sitokin tersebut kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi sistemik, menginduksi pembentukan PGE2 di sentral (bertanggung jawab untuk terjadinya demam) dan perifer (bertanggung jawab untuk terjadinya mialgia dan artralgia non-spesifik yang sering menyertai demam).
III. PENDEKATAN TERHADAP PASIEN
3.1 Anamnesis
Upaya penegakan diagnosis pada demam merupakan perpaduan antara ilmu dan seni dalam dunia kedokteran. Tidak ada situasi klinis lain di mana anamnesis yang sangat cermat dan teliti memiliki arti yang begitu penting. Perhatian lebih harus ditujukan pada kronologis gejala penyakit dalam hubungannya dengan penggunaan obat (termasuk obat atau jamu yang diminum tanpa pengawasan dokter) atau tindakan medis seperti bedah dan prosedur kedokteran gigi. Jenis bahan dasar dari benda-benda prostetik atau implan yang digunakan pasien harus dipastikan dengan tepat. Anamnesis riwayat pekerjaan pasien yang cermat termasuk paparan terhadap binatang, uap/gas beracun, agen potensial infeksius, antigen; atau individu lain di rumah pasien yang menderita demam atau penyakit infeksi. Anamnesis mengenai keadaan geografis di lingkungan tempat tinggal penderita dan riwayat melakukan perjalanan harus termasuk lokasi penugasan pada anggota militer. Keterangan tentang hobi yang tidak umum, kecenderungan diet (seperti makan daging mentah atau setengah matang, ikan mentah, dan susu atau keju tanpa proses pasteurisasi), dan hewan peliharaan harus ditanyakan, juga keterangan tentang orientasi dan kegiatan seksual, termasuk tindakan pencegahan yang dilakukan atau diabaikan. Perhatian harus ditujukan pada penggunaan tembakau, mariyuana, obat-obatan intravena, alkohol, gigitan binatang, gigitan serangga atau tuma, dan riwayat transfusi, imunisasi, alergi obat, atau hipersensitivitas. Anamnesis riwayat keluarga yang teliti harus termasuk penyakit TBC dalam keluarga, demam atau penyakit infeksi lain, penyakit kolagen atau vaskuler, atau simtomatologi familial yang tidak umum seperti ketulian, urtikaria, demam, dan poliserositis, nyeri tulang, atau anemia. Suku bangsa mungkin penting. Misalnya orang kulit hitam lebih cenderung menderita hemoglobinopati. Orang Turki, Arab, Armenia, dan Yahudi sephardis cenderung mendapat demam mediteranian familial.
3.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat dan teliti harus diulang secara reguler. Seluruh tanda-tanda vital relevan. Suhu tubuh dapat diukur melalui oral atau rektal, tetapi tempat pengukuran harus konsisten. Suhu aksilla sudah terkenal tidak dapat dipercaya. Perhatian khusus harus ditujukan pada pemeriksaan fisik harian (atau kadang-kadang lebih sering), yang harus diteruskan sampai diagnosis dapat dipastikan dan respon yang diharapkan telah dicapai. Hal lain yang harus diperhatikan secara istimewa adalah kulit, kelenjar getah bening, mata, kuku, sistem kardiovaskuler, dada, abdomen, sistem muskuloskeletal, dan sistem saraf. Pemeriksaan rektal harus dilakukan. Penis, prostat, skrotum, dan testis harus diperiksa secara cermat. Pemeriksaan panggul harus menjadi bagian dari setiap pemeriksaan fisik lengkap pada wanita, untuk mencari penyebab demam seperti penyakit radang panggul dan abses tubo-ovarium.
3.3 Pemeriksaan Laboratorium
Sedikit tanda dan gejala dalam kedokteran yang memiliki kemungkinan diagnosis sebanyak demam. Jika anamnesis, situasi epidemiologis, atau pemeriksaan fisik mengesankan lebih dari sekedar penyakit virus sederhana atau faringirtis streptokokkal, maka pemeriksaan laboratorium merupakan indikasi. Waktu dan kerumitan pemeriksaan tergantung dari perkembangan penyakit, pertimbangan diagnostik, dan status imunitas dari pasien. Jika penemuan klinis sudah jelas atau jika anamnesis, keadaan epidemiologis, atau hasil pemeriksaan fisik memberikan diagnosis pasti, pemeriksaan laboratorium dapat terfokus. Apabila demam tidak spesifik, upaya penegakan diagnosis harus dilakukan lebih lanjut, dan beberapa pedoman diindikasikan, seperti yang akan diterangkan sebagai berikut :
3.3.1 Patologi Klinik
Pemeriksaan seharusnya meliputi hitung darah lengkap, hitung jenis sebaiknya dilakukan secara manual atau dengan alat yang sensitif terhadap identifikasi eosinofil, bentuk sel darah muda (juvenile) atau pita, granulasi toksik, dan badan Dohle, tiga pemeriksaan terakhir cenderung ke arah infeksi bakteri. Neutropenia mungkin terjadi pada beberapa infeksi virus, terutama infeksi parvovirus B 19; reaksi obat; SLE; tifoid; brucellosis; dan penyakit infiltratif pada sumsum tulang, termasuk limfoma, leukemia, tuberkulosis, dan histoplasmosis. Limfositosis dapat timbul pada tifoid, brucellosis, tuberculosis, dan penyakit virus. Limfosit atipik terdapat pada banyak penyakit virus, termasuk infeksi virus Eipstein-Barr, cytomegalo, atau HIV; dengue; rubella; varicella; campak; virus hepatitis. Abnormalitas ini juga timbul pada serum sickness dan toksoplasmosis. Monositosis merupakan gambaran dari tifoid, tuberkulosis, brucellosis, dan limfoma. Eosinofilia dapat menyertai reaksi hipersensitivitas terhadap obat, penyakit Hodgkin, insufisiensi adrenal, dan infeksi metazoa tertentu. Jika demam yang terjadi berat atau memanjang, apus darah harus diperiksa secara seksama terhadap malaria atau babesial patogen (jika sesuai), juga terhadap gambaran morfologi yang klasik, dan kadar sedimentasi eritrosit harus diukur. Urinalisis dengan pemeriksaan sedimen urin merupakan indiasi. Sudah merupakan aksioma bahwa pada setiap akumulasi abnormal cairan (pada pleura, peritoneum, sendi), walaupun sudah pernah diambil sampel sebelumnya, pemeriksaan ulang harus dipertimbangkan pada demam yang belum terdiagnosis. Cairan sendi sebaiknya diperiksa untuk mengetahui adanya bakteri dan kristal. Biopsi sumsum tulang (bukan aspirasi sederhana) untuk pemeriksaan histopalogi (juga kultur) merupakan indikasi jika mungkin terjadi infiltrasi patogen atau sel tumor pada sumsum tulang. Feses harus diperiksa untuk mencari darah samar, leukosit, telur atau parasit.
3.3.2 Kimiawi
Elektrolit, glukosa, blood urea nitrogen, dan kadar kreatinin seharusnya diperiksa. Tes fungsi hati biasanya diindikasikan jika upaya untuk menentukan penyebab demam tidak menunjukkan adanya keterlibatan organ lain. Pemeriksaan tambahan (misalnya pemeriksaan kadar kratinin fosfokinase atau amilase) dapat dilakukan sesuai perkembangan.
3.3.3 Mikrobiologi
Pemeriksaan apus dan kultur dari tenggorokan, uretra, anus, serviks, dan vagina sebaiknya dilakukian jika tidak ada penemuan klinis yang terlokalisir atau jika terdapat kesan keterlibatan pelvis atau traktus gastrointestinalis. Jika timbul kecurigaan terhadap infeksi traktus respiratorius, evaluasi sputum (pewarnaan Gram, pewarnhaan terhadap basil tahan asam, kultur) merupakan indikasi. Kultur darah, pemeriksaan cairan abnormal, dan urin merupakan indikasi apabila diduga terjadi penyakit yang lebih kompleks dari infeksi virus sederhana. Cairan serebrospinal harus diperiksa dan dilakukan kultur jika terjadi meningismus, sakit kepala hebat, atau perubahan dalam status mental.
3.3.4 Radiologi
Foto rontgen dada biasanya menjadi bagian dari evaluasi pada setiap keadaan demam yang signifikan.
3.4 Hasil dari Upaya Penegakan Diagnosis
Pada sebagaian kasus demam, baik pasien sembuh spontan atau dari anamnesis, pemeriksaan fisisk dan skrining laboratorium awal akan mengarah pada suatu diagnosis. Apaila demam berlanjut sampai 2-3 minggu, dan jika selama itu pemeriksaan fisik berulang dan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan tidak memberikan jawaban yang pasti, maka pasien didiagnosis menderita fever of unknown origin (FUO).
DAFTAR PUSTAKA
Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. 2002. Important Signs and Symptoms : Fever & Hyperthermia. Dalam Harrison’s Manual of Medicine 15th Edition. India: McGraw-Hill International.
Dinarello, CA; Gelfand, JA. 2001. Cardinal Manifestations and Presentasion of Diseases : Alterations in Body Temperature : Fever and Hyperthermia. Dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 15th Edition. Editor: Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. USA: McGraw-Hill International.
Mattingly, D; Seward, C. 1989. Demam. Dalam Bedside Diagnosis edisi Ke-13. Editor Bahasa Indonesia : Soeliadi Hadiwandowo, cetakan tahun 1996. Semarang : Gadjah Mada University Press.
___________________
0 komentar:
Posting Komentar